Ulap Doyo: Tenun Ikat Warisan Suku Dayak Benuaq

Ulap Doyo khas Suku Dayak Benuaq, Kalimantan Timur.
(Sumber: Indonesia Kaya)

Di daerah Tanjung Isuy, Kalimantan Timur, terdapat Suku Dayak Benuaq, yang dikenal dengan gaya hidup mereka yang selalu berhubungan dengan alam. Hal ini pun nampak pada budaya wastra atau kain tradisional khas Suku Dayak Benuaq yaitu kain tenun Ulap Doyo, yang juga merupakan sebuah tradisi yang diwariskan para pengrajin Suku Dayak Benuaq secara turun-temurun dalam keluarga mereka. Umum digunakan oleh perempuan dan laki-laki baik dalam kehidupan sehari-hari maupun upacara adat dan tari-tarian, Ulap Doyo juga disebut sebagai salah satu wujud ekspresi dari kepercayaan dan ilmu pengetahuan masyarakat Suku Dayak Benuaq.

Tumbuhan daun Doyo (kiri), Serat daun Doyo yang sudah diuraikan dan dipintal menjadi gulungan benang kasar (kanan).
(Sumber: Indonesia Kaya)

Memiliki arti ‘kain yang terbuat dari daun doyo’, Ulap Doyo terbilang istimewa karena seluruh bahan baku termasuk pewarna yang digunakan pada proses pembuatan Ulap Doyo berasal dari tumbuhan setempat. Menggunakan serat daun doyo (Curliglia latifolia), sebuah tanaman menyerupai pandan dengan serat yang kuat, Ulap Doyo harus melewati proses produksi yang cukup panjang. Diketahui untuk menghasilkan kain Ulap Doyo berukuran 50cm x 150cm saja memakan waktu sekitar satu bulan. Serat dari daun doyo ini harus dipisahkan dulu dengan cara disayat sebelum akhirnya digulung dan dilinting untuk membentuk benang kasar yang kemudian akan melalui proses pewarnaan.

Ulap Doyo dan gulungan benang dari serat Doyo yang sudah dipintal dan dicelup dengan pewarna alam. (Sumber: AMAN Kaltim)

Untuk mendampingi warna dasar serat Doyo yaitu putih dan krem, dalam pembuatan Ulap Doyo, digunakan juga pewarna alam yang sangat beragam, seperti daun pohon kebuau atau asap pembakaran damar untuk warna hitam, kunyit untuk warna kuning, akar kayu oter untuk warna coklat, batu lado untuk warna merah, dan tanaman putri malu untuk warna hijau. Tidak berhenti disitu, benang yang sudah diwarnai kemudian akan ditenun dengan hati-hati. Buyung, kayu pemisah benang tenun, tidak boleh lepas dan saat proses penenunan juga harus kuat.

Motif pada kain Ulap Doyo menggunakan ornamen serta simbol flora, fauna, dan mitologi alam lainnya yang memiliki nilai estetika dan fungsional yang bersifat rohani. Sebut saja seperti motif naga yang melambangkan kecantikan seorang perempuan, motif limar (perahu) yang melambangkan budaya kerjasama, motif timang (harimau) yang melambangkan keperkasaan seorang lelaki, dan motif tangga tukar toray (tangga rebah) yang melambangkan perlambangan usaha dan kerjasama masyarakat. Selain itu, setiap motif kain juga digunakan sebagai penanda status sosial seseorang. Motif jautan nguku, misalnya. Jautan (awan) dan nguku (berarak) merupakan ragam hias yang digunakan untuk mencerminkan kebesaran seseorang dalam suasana yang bahagia, biasanya untuk para bangsawan dan raja. Lalu, ada juga motif waniq ngelukng yang menyerupai lebah dan sarangnya, biasa digunakan oleh masyarakat biasa. Penemuan ini mendukung perkiraan umur kain tenun Ulap Doyo yang hampir sama dengan Kerajaan Hindu Kutai yang dulu sempat berjaya di Kalimantan dan menggunakan sistem strata sosial.

Proses penenunan Ulap Doyo. (Sumber: Indonesia Kaya)

Tenun Ulap Doyo yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Berbenda Nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sejak 2013 lalu kini banyak digemari oleh masyarakat lokal maupun internasional. Berdasarkan data tahun 2017 dari Pengelola Pelihara Lamin Mancong, Kampung Mancong, Kecamatan Jempang, terdapat sebanyak 378 turis dari berbagai negara yang berkunjung untuk melihat dan mempelajari tentang tenun Ulap Doyo. Sayangnya, keberlangsungan tenun Ulap Doyo yang asli kini mulai terancam akibat berkurangnya daun doyo dan tanaman lain yang digunakan dalam proses pewarnaan akibat pengalihfungsian lahan untuk perkebunan dan pertambangan di tahun 1990an.

Salah satu pengrajin Ulap Doyo yang masih aktif di Kampung Tanjung Isuy.
(Sumber: Koran Kaltim)

Hal ini mengakibatkan banyaknya pengrajin Ulap Doyo yang terpaksa menggunakan benang biasa dan pewarna kimia dalam proses produksi. Pertimbangan menggunakan benang menurut para pengrajin juga terdapat pada kemudahannya dalam proses tenun dan fleksibilitasnya untuk diaplikasikan menjadi produk sandang – namun hal itu berarti menghilangkan esensi dasar dari Ulap Doyo itu sendiri. Tidak hanya itu, seringkali penggunaan Ulap Doyo hanya diartikan dengan penggunaan motifnya yang dicetak dengan mesin pada kain, sehingga tak sedikit pula pengrajin yang pada akhirnya beralih menjadi petani sawit. Padahal, menurut sebuah wawancara BBC dengan salah satu pengrajin Ulap Doyo, permintaan akan Ulap Doyo ini bisa mencapai 50-100 potong dalam satu pesanan. Tentu saja, hal ini sulit untuk dipenuhi apabila sumber daya alam dan manusianya berkurang.

Perempuan Suku Dayak Benuaq mengenakan pakaian adat dari Ulap Doyo (kiri), Ulap Doyo yang diolah menjadi produk tas (kanan). (Sumber: 1 2)

Dalam rangka menjaga kelestarian Ulap Doyo baik sebagai warisan budaya maupun komoditi kriya Nusantara, diperlukan dukungan pemerintah dalam segi bahan baku, pengembangan SDM, hingga pemasaran. Maka dari itu, sejak tahun 2019 Dinas Perindustrian, Perdagangan Koperasi dan UMKM (Disperindagkop UMKM) Kalimantan Timur dan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kalimantan Timur mengembangkan 14 sentra pembuatan tenun Ulap Doyo yang tersebar di daerah Kutai Barat dan Kutai Kartanegara. Bentuk tenun Ulap Doyo juga kini mulai dikembangkan untuk dijual dalam bentuk produk kerajinan yang lebih beragam seperti aksesoris dan hiasan dinding.

Untuk mendukung kelestarian tradisi Ulap Doyo serta para pengrajinnya, kita bisa memulai dengan ikut memperkenalkan Ulap Doyo ke lingkungan sekitar kita, ataupun secara langsung dengan membeli produk asli Ulap Doyo, yang salah satunya dapat ditemui di akun Instagram @ulapdoyo_kaltim.

Teks oleh Nabila Nida Rafida untuk The Textile Map | Sumber: BBC | Koran Kaltim | Indonesia Kaya | Republika | ANTARA | Diskominfo Provinsi Kalimantan Timur | AMAN Kaltim

Leave a comment