
Pada tanggal 1 Desember 2020 lalu, media Business of Fashion bekerjasama dengan lembaga riset McKinsey & Co. dalam menerbitkan The State of Fashion 2021, sebuah laporan tahunan mengenai industri fesyen dunia. Berfokus pada pemulihan pasca-COVID 19, The State of Fashion 2021 memperkenalkan 10 tema sebagai penggerak utama keberlangsungan industri fesyen tahun depan yang mencakup perubahan perilaku konsumen, peluang investasi, serta simplifikasi model bisnis yang lebih efisien. Pada artikel kali ini, kami akan membahas salah satunya yang bertajuk Less is More.

Tema ini menyoroti pergeseran perilaku konsumen yang kini lebih memperhatikan dampak aktivitas mereka terhadap lingkungan. Konsep Less Is More yang diusung berusaha untuk mendorong para pelaku produksi untuk menerapkan konsep circular fashion dengan menggunakan bahan baku yang lebih ramah lingkungan dan mengurangi volume produksi garmen untuk meminimalisir jejak karbon yang dihasilkan. Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh McKinsey pada bulan Agustus lalu, sebanyak 65% konsumen mengatakan bahwa mereka mengutamakan unsur kualitas dan fungsionalitas dibanding unsur kebaruan dalam melakukan pembelian. Tidak hanya itu, pada survei yang sama juga diketahui tiga dari lima konsumen merasa bahwa dampak terhadap lingkungan merupakan faktor penting dalam melakukan kegiatan konsumsi.

Selain meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan, sistem circular fashion juga dipercaya dapat memberi nilai tambah pada sebuah barang melalui model bisnis sirkuler yang diawali dari kegiatan penjualan, perbaikan, pengembalian, pembaruan atau daur ulang, hingga akhirnya kembali dijual. Mengetahui kelebihan ini, sedikit demi sedikit beberapa perusahaan mulai menerapkan konsep circular fashion. Mulai dari label Burberry yang tidak lagi memusnahkan produk mereka yang tidak terjual, Gucci yang mengurangi produksi koleksi musiman, hingga pencetusan Mulberry Exchange oleh Mulberry untuk memfasilitasi konsumen yang ingin memperbaiki atau menjual kembali produk lama mereka.

Para pembuat kebijakan juga turut memberi serangkaian regulasi yang ditujukan untuk mendorong penerapan circular fashion, seperti larangan penghancuran barang mewah oleh pemerintah Prancis dan pajak perbatasan karbon oleh EU. Terlepas dari upaya dari beberapa pemain, dampak positif yang dirasakan ternyata masih belum signifikan. Dari 53 juta ton produksi garmen di tahun 2018, terdapat 12% serat yang terbuang, 25% garmen tidak terjual, dan produk daur ulang tidak mencapai 1%. Diatas semua itu, industri fesyen juga diperkirakan akan terus berkembang, bahkan hingga tahun 2030 diperkirakan volume produksi garmen akan meningkat sebanyak 2.7% setiap tahunnya.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan peningkatan penerapan sistem berskala industri. Sayangnya, terdapat tiga hal yang menghambat agenda tersebut terwujud dalam waktu singkat:

(Grafis oleh The Textile Map)
- Garmen harus memiliki daya tahan dan sifat daur ulang: Untuk menangkap dan melipatgandakan nilai suatu produk, perlu diketahui terlebih dahulu daya tahan dan kemampuan daur ulang dari produk itu sendiri. Tanpa kedua hal tersebut, akan terjadi pengurangan nilai produk secara signifikan.
- Kebutuhan akan jaringan logistik yang kompleks: Kegiatan penjualan ulang pakaian saat ini lebih banyak dilakukan menggunakan pendekatan peer-to-peer, hanya ke individu tertentu yang memang sudah memahami dan berkeinginan untuk melakukan penjualan tersebut. Untuk memperluas cakupan konsumen dan skala industri, tentu perlu melibatkan lebih banyak orang dalam bagian logistik seperti saat proses kurasi dan distribusi.
- Terdapat stigma atas konsep daur ulang: Walau sudah mulai familiar, namun tidak bisa dipungkiri bahwa pakaian yang telah melalui proses daur ulang terkadang memiliki konotasi negatif bagi sebagian orang. Demikian pula dengan penjualan kembali barang lama, konsumen memiliki insentif yang lebih besar untuk mengembalikan baju baru daripada baju lama yang tidak terpakai.
Sebenarnya, terdapat berbagai solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi tiga hambatan di atas dan memperluas cakupan circular fashion. Namun, terdiversifikasinya sifat pelaku bisnis dan target konsumen mempersulit diberlakukannya sebuah solusi yang terstandarisasi untuk keseluruhan industri.
Meski demikian, terdapat tiga poin yang dapat dijadikan fokus utama dalam membuat sebuah bisnis model yang sirkuler:
- Mengadopsi konsep desain yang berkelanjutan
Dengan terus bertambahnya jejak karbon yang ditinggalkan oleh industri fesyen, kini sustainabilitas menjadi salah satu hal dasar yang harus dipenuhi oleh semua perusahaan pakaian. Untuk menghasilkan pakaian yang bersifat zero waste, tentu diperlukan inovasi produk dan material yang digunakan. Untuk mewujudkannya, perusahaan dapat melakukan beberapa hal berikut:
- Berinvestasi dalam proses ramah lingkungan
- Mengurangi limbah produksi dan mendukung penggunaan kembali bahan sisa (deadstock)
- Melatih desainer untuk mendorong inovasi desain yang lebih ramah lingkungan
- Bekerjasama dengan pihak luar dalam mengembangkan sarana pendukung produksi
yang mengolah limbah tekstil menjadi material daur ulang yang kemudian digunakan untuk menciptakan pakaian baru.
- Penerapan sistem logistik terbalik
Melalui sistem logistik terbalik, perusahaan dapat terus memberi nilai baru pada produk mereka dengan cara memperoleh kembali barang terjual dari gudang maupun penjual sekunder. Perusahaan dapat membeli, memperbaiki, memberi harga, dan memasarkan barang bekas tersebut dalam rangka melakukan penjualan ulang. Dalam melakukan sistem ini, perusahaan dapat melakukan beberapa hal berikut:
- Merancang sebuah sistem yang mengoptimalkan retensi nilai
- Memperluas jaringan perusahaan untuk menciptakan sebuah pusat penerapan sistem
- Meningkatkan aksesibilitas
- Mengoptimalkan fasilitas kurasi dan teknologi daur ulang
- Mengurangi kemasan atau produk sekali pakai
fasilitator penerapan sistem circular fashion di Indonesia.
- Mendukung adaptasi konsumen
Seperti yang dikatakan sebelumnya, konsep circular fashion masih memiliki stigma dalam sebagian konsumen. Beberapa dari mereka ada yang memiliki kekhawatiran akan tingkat kebersihan dan nilai dari pakaian bekas tersebut. Perusahaan dapat memberi dorongan atau edukasi untuk mematahkan stigma tersebut dengan menerapkan beberapa hal berikut:
- Menawarkan opsi penyewaan barang
- Memperketat proses penyortiran barang
- Mengaktifkan model bisnis peer to peer
- Merilis sebuah koleksi yang bisa dipakai pada musim apapun
- Mengeluarkan konten edukasi di media sosial berupa saran perawatan barang dan perbaikan barang bekas
- Penyediaan jasa daur ulang
Walaupun diyakini sebagai salah satu tren bisnis yang dapat memajukan industri fesyen dalam dekade berikutnya, circular fashion bukanlah sebuah gerakan revolusi yang dapat dipimpin oleh beberapa pelaku saja. Untuk mewujudkan cita-cita ini, diperlukan sebuah upaya kolektif dimana seluruh pihak, baik produsen, distributor, dan konsumen, dapat saling berkolaborasi untuk menciptakan sebuah rantai bisnis yang kuat.
Untuk membaca laporan selengkapnya, silahkan unduh The State of Fashion 2021 atau kunjungi situs McKinsey & Co. di mckinsey.com atau pada situs Business of Fashion di businessoffashion.com
Teks dan grafis oleh Nabila Nida Rafida | Sumber: McKinsey & Company 1 2 3 | Forbes | The Ellen McArthur Foundation | Fashion United | Environmental Leader

[…] Mengenal Prinsip Circular Fashion pada Industri Garmen […]
LikeLike
[…] Mengenal Pentingnya Prinsip Circular Fashion dalam Industri Garmen […]
LikeLike