Limbah Susu Sapi sebagai Bahan Baku Tekstil Alternatif

Anke Domaske, Milk fabric
Tahapan perubahan bentuk dari susu hingga menjadi kain.
(Foto: Dok. QMilk, LSN Global)

Ketika mendengar kata susu, hampir semua orang akan segera membayangkan wujud minuman yang berasal dari hewan sapi, cairan berwarna putih yang berada dalam sebuah botol, gelas, ataupun kotak kemasan. Namun sejak tahun 1930, susu ternyata sudah dikenal sebagai salah satu bahan baku produk tekstil. Proses pembentukan serat dari susu (milk fiber) kurang lebih memiliki tahapan produksi yang sama dengan serat rayon atau viscose, dengan memanfaatkan kasein, kandungan protein utama dalam susu. Secara karakteristik, milk fabric memiliki kemiripan dengan wol, dengan tingkat kelembutan yang melebihi katun, breathability dan daya serap yang baik, dapat terurai (biodegradable) namun mudah terkerut.

Penggunaan susu sebagai bahan tekstil bukanlah hal yang baru, namun dengan keunikannya sebagai material, serta semakin maraknya pencarian material alternatif yang ramah lingkungan saat ini, milk fabric menjadi sebuah bahasan yang menarik untuk kita ketahui lebih jauh lagi.

1935: Lanital

Walau terdengar seperti penemuan baru, keberadaan kain berbahan dasar susu sebenarnya sudah ada sejak tahun 1930 silam dan ditemukan oleh Antonio Ferreti, seorang insinyur asal Italia. Penemuan ini kemudian didukung oleh Benito Mussolini, pemimpin Italia kala itu, yang memiliki ambisi untuk mengantar Italia menuju kemandirian ekonomi. Di pertengahan tahun 1935, sebuah perusahaan manufaktur Italia, SNIA Viscosa, mulai memproduksi kain berbahan dasar susu dalam skala besar dan menamai produk ini dengan sebutan “Lanital”.

Hingga tahun 1940-an, popularitas Lanital terus meningkat. Bahkan, hak paten akan kain ini dijual ke berbagai negara seperti Jerman, Belgia, Jepang, dan Inggris. Sayangnya, memasuki tahun 1950, popularitas Lanital meredup akibat ditemukannya material sintetis seperti nilon yang yang memiliki karakteristik seperti wol dan sutra yaitu memiliki sifat lebih lembut dan tahan lama dengan harga yang lebih rendah. Akibatnya, penemuan ini ditinggalkan karena tidak dapat bersaing dengan alternatif sintetis lainnya yang tidak hanya dianggap memiliki kualitas lebih baik tapi juga memiliki harga yang lebih terjangkau.

2007: Milkofil

Milkofil diproduksi dalam bentuk kain juga pakaian bayi.
(Foto: Dok. Milkofil, Materials Intelligence Technology Blog)

Di tahun 2007, sebuah badan penelitian dan pengawasan teknologi asal Barcelona, MATERFAD, meluncurkan sebuah material organik yang terbuat dari protein kasein susu. Milkofil, nama material tersebut, dipercaya dapat memberi agen antibakteri alami dengan melepaskan ion negatif pada kulit. Tekstur yang dihasilkan menyerupai sutra sehingga mengoptimalkan kenyamanan kain ketika dikenakan. Di tahun yang sama, C.L.A.S.S. (Creativity, Lifestyle, and Sustainable Synergy), sebuah forum untuk mempertemukan produsen tekstil ramah lingkungan dengan desainer, juga ikut menghadirkan Milkofil dalam salah satu pameran mereka. Sayangnya, Milkofil sudah tidak lagi diproduksi sejak tahun 2010.

2011: QMilk

Anke Domaske, pendiri QMilk. (Foto: Innovation Origins)

Selain Milkofil, ada material Qmilk, hasil inovasi seorang ahli mikrobiologi asal Jerman bernama Anke Domaske. Lahir pada tahun 2011, Anke berhasil menekan penggunaan zat kimia dalam proses produksi milk fiber dengan menggantinya menggunakan limbah industri susu yang tidak lolos dalam hal kelayakan konsumsi. Hasilnya, hanya dibutuhkan waktu satu jam dan dua liter air untuk memproduksinya 1 kilogram milk fiber QMilk.

Tidak hanya ramah lingkungan, QMilk juga menonjolkan kemampuan lainnya seperti ketahanannya yang cukup kuat terhadap cairan dan api. Melalui sistem kerja sama dengan QMilk sebagai pemasok material, material milk fiber dari QMilk sudah diaplikasikan ke dalam bentuk berbagai produk seperti pakaian, sepatu, hingga tisu toilet. Sementara, QMilk juga telah mengembangkan lini produk lainnya termasuk produk kosmetik dan biopolymer sebagai material alternatif plastik.

2019: Mi Terro & Duedilatte 

Semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya material tekstil alternatif pengganti plastik, perusahaan yang memproduksi material berbahandasar limbah susu pun kini semakin bermunculan. Salah satunya adalah Mi Terro, perusahaan bioteknologi asal Los Angeles, Amerika, yang dibangun oleh Robert Luo dan Daniel Zhuang. Luo dan Zhuang berhasil menemukan proses produksi milk fabric tersendiri yang telah dipatenkan, serta dikatakan dapat digunakan untuk memproduksi material lainnya yang berbahan dasar protein. Teknologi dari Mi Terro diklaim menggunakan 60% lebih sedikit air daripada pengolahan katun organik dan tidak melibatkan zat kimia yang dapat mencemari lingkungan. Mi Terro juga telah menawarkan milk fabric-nya dalam bentuk kaus oblong dalam situs resmi mereka.

Koleksi kaus uniseks dari Duedilatte. (Foto: Fashion United)

Sementara, Duedilatte adalah sebuah label asal Italia dan didirikan oleh Antonella Bellina. Setelah menjalani proses riset selama tiga hingga lima tahun, Duedilatte meluncurkan koleksi pertama mereka pada tahun 2019. Seperti Mi Terro, koleksi ini diisi dengan sederet kaus uniseks. Yang menjadi pembeda Duedilatte dengan produk milk fabric lainnya adalah, selain bentuk akhir Duedilatte yang lebih berfokus pada produk siap pakai, Duedilatte menggunakan pewarna alam seperti stroberi, kopi, bluberi, dan bawang merah, sehingga proses produksi yang dilakukan Duedilatte menjadi semakin ramah lingkungan.

Peran milk fabric dalam isu lingkungan

Stephanie Younker, seorang peternak sapi perah, harus membuang hingga 800 galon susu sapi dikarenakan menurunnya permintaan dari distributor susu karena pandemi. (Foto: The Philadelphia Inquirer)

Menurut data dari Food Agricultural Organization (FAO) pada tahun 2012, limbah produk susu sebanyak 29 juta ton terbuang setiap tahunnya di Eropa. Limbah ini tidak hanya dihasilkan dalam penggunaan rumah tangga, namun juga terjadi dalam setiap tahap produksi dan distribusi produk susu tersebut. Ditambah lagi, sejak pandemi, banyak produsen susu yang mengalami penurunan permintaan, salah satunya dikarenakan banyaknya restoran dan distributor yang gulung tikar sehingga menghentikan pemesanan regulernya. Isu ini tentunya membuka peluang yang besar bagi milk fabric untuk memiliki tempat tersendiri di pasaran. Penggunaan limbah susu sebagai bahan baku pun dinilai lebih ramah lingkungan dibandingkan penggunaan plastik daur ulang yang malah menghasilkan plastik mikro yang lebih berbahaya.

Meski belum diketahui dan digunakan oleh banyak kalangan masyarakat, pengolahan milk fabric yang semakin berkembang membuka peluang untuk material ini dalam menyokong gerakan berkelanjutan dalam industri mode. Kualitasnya yang semakin membaik dan mulai bersaing dengan material sintetis lainnya membuat daya tarik milk fabric meningkat dan memiliki kesempatan untuk menjadi produk komoditi di masa depan. Selain itu, serat yang terbuat dari susu ini pun dapat dicampurkan dengan serat lainnya seperti wol, katun, atau sutera. Dengan proses produksinya yang memanfaatkan limbah susu serta sifatnya yang dapat 100% terurai, keberadaan milk fabric dapat berkontribusi dalam mengurangi dua jenis limbah buangan yang tergolong tinggi di masyarakat, yakni limbah tekstil dan makanan.

Penulis: Nabila Nida Rafida & Mega Saffira | Editor: Mega Saffira | Sumber: All Things Bio | Fashion United | Sewport | Materfad | QMilk | NBC News | Reuters | Milk Genomics | Innovation Origins | World Economic Forum | Food Agricultural Organization | Fibre2Fashion | Mi Terro | Food Hero | Cause Artist | Textile Blog | TIME | Atlas Obscura

Leave a comment