
(Foto: Dok. SukkhaCitta)
Di tengah maraknya pembicaraan tentang isu fast fashion, dampaknya terhadap lingkungan, serta kesejahteraan pekerjanya, terdapat sebuah label fesyen di Indonesia yang menonjol dengan menerapkan konsep slow fashion, sebuah praktik dalam fesyen berdasarkan pemakaian pakaian dalam jangka panjang, penggunaan material berkualitas dan berdaya tahan tinggi, serta proses produksi yang ramah lingkungan. Label tersebut memiliki nama “SukkhaCitta”, diambil dari kata “suka cita” dalam bahasa Indonesia yang berarti kebahagiaan. Lahir sejak tahun 2016 di Indonesia, SukkhaCitta didirikan oleh Denica Riadini-Flesch sebagai salah satu upayanya dalam memperbaiki sistem fesyen yang sudah terlalu tercemar.
Mengenal Denica Flesch

(Foto: Greatmind.id)
Sebelum berhasil membangun label fesyennya sendiri, Denica Flesch pada awalnya bekerja sebagai seorang konsultan di World Bank. Mendapat gelar ekonomi dari University Erasmus, Rotterdam, perempuan berusia 29 tahun ini memiliki ketertarikan tersendiri terhadap isu kemiskinan dan pengembangan lingkungan sosial yang terjadi di negaranya sendiri, Indonesia.
‘Saya menyadari bahwa di balik pilihan sederhana seperti apa yang akan kita pakai setiap harinya, terdapat para perempuan yang tak akan pernah kita temui, tangan-tangan yang tak akan pernah kita lihat, dan perjuangan yang tak akan pernah kita tahu.’
Denica Flesch, Pendiri dan CEO dari SukkhaCitta
Selama satu tahun ia bekerja di World Bank, Denica kerap melakukan perjalanan ke berbagai wilayah di Indonesia. Berkeinginan untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia, Denica terpukul oleh kenyataan ketika melihat kondisi ekonomi keluarga Indonesia di daerah pelosok pedesaan. Hal ini membuatnya cukup frustasi karena merasa apa yang selama ini ia lakukan ternyata tidak dapat memberi dampak secara langsung kepada perekonomian di Indonesia. Pada akhirnya, Denica pun mulai melakukan sebuah penelitian mandiri dan menemukan adanya sebuah tren menarik dimana kemiskinan di Indonesia cenderung berkerumun pada suatu sektor kegiatan ekonomi, misalkan pada orang-orang yang bekerja di sektor pertanian atau sektor kerajinan tangan saja.
Menilik Perjalan Berdirinya SukkhaCitta
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, melalui penelitian mandirinya, Denica menemukan adanya peluang dalam mengembangkan sektor kerajinan tangan sebagai upaya pemberantasan kemiskinan di Indonesia. Pasalnya, sektor kerajinan tangan sendiri merupakan sektor penyerap tenaga kerja tertinggi kedua di Indonesia, terutama terhadap para perempuan di daerah pedesaan. Sayangnya, terdapat suatu “kerusakan” dari sistem yang berlaku. Meski membutuhkan keahlian dan waktu yang cukup banyak, para artisan pada umumnya dibayar dengan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja dengan tugas yang lebih sederhana, seperti penjaga kasir mini market, misalnya. Alhasil, regenerasi artisan pun makin sulit untuk dilakukan karena minimnya insentif yang tersedia.

(Foto: Dok. SukkhaCitta)
Melihat ini, Denica ingin membuat sebuah badan yang dapat memfasilitasi para artisan tersebut untuk menyalurkan karyanya dan melestarikan kebudayaan yang ada sembari menjaga keindahan lingkungan sekitar. Denica menghabiskan waktu selama kurang lebih satu tahun untuk mempelajari industri ini. Mulai dari teknik yang digunakan hingga proses pewarnaannya. Ia bertemu dengan sebuah keluarga asal Wonosobo, Jawa Tengah yang menjual pasta indigo, salah satu pewarna alam dari tanaman nila yang menghasilkan warna biru gelap keunguan. Meski sudah berjualan pewarna indigo selama lima tahun, namun dari segi ekonomi, keluarga tersebut belum memanfaatkan usahanya secara optimal. Denica akhirnya mengajukan penawaran untuk membantu mengembangkan usaha ini dengan mengadakan sebuah pelatihan membatik menggunakan pewarna indigo kepada ibu-ibu di desa tersebut.






Melalui pelatihan ini, Denica pun merekrut para artisan yang ingin ikut berkontribusi dalam membangun SukkhaCitta sebagai sebuah brand. Pada awalnya, seluruh desain dilakukan oleh Denica setelah berkonsultasi dengan pengrajin setempat terkait motif dan arti budaya di dalamnya. Setelah itu, desain tersebut akan diproduksi oleh para pengrajin secara tradisional dan dijual secara daring. Dari sebuah studio kecil di Wonosobo hanya dengan tiga artisan, kini SukkhaCitta sudah memiliki empat desa binaan yang berlokasi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Flores dengan kurang lebih 20 mitra artisan di setiap wilayah. Selain itu, SukkhaCitta juga telah membuka gerai pertama mereka di Alam Sutera, Tangerang.

(Foto: Dok. SukkhaCitta)
Daya tarik lain yang berusaha ditonjolkan oleh Denica adalah penyampaian cerita di balik produknya. Sebagai seorang ekonom, Denica terbiasa untuk menilai suatu hal berdasarkan nilai dan tingkat efisiensinya. Tetapi, setelah menghabiskan beberapa hari di pedesaan dengan artisan perempuan disana, ia menemukan keberadaan faktor lain yang sama pentingnya dengan kedua hal tersebut, yakni latar belakang dan makna pada suatu produk. Para artisan disana sering bercerita tentang ibu dan anak mereka, bertukar kisah melalui kain yang mereka buat dengan tahan. Kain ini pun menjadi media mereka untuk menyampaikan harapan terhadap hidupnya dan orang disekitarnya. Unsur cerita inilah yang dapat menjadi pembeda antara SukkhaCitta dengan produk fast fashion yang cenderung terlihat homogen dan hanya mengikuti tren saja.
#MadeRight dan 3 Pilar SukkhaCitta

(Foto: Dok. SukkhaCitta)
Dalam mengembangkan usahanya, Denica mengusung tagar #MadeRight yang berarti “dibuat dengan semestinya.” Hal ini merujuk pada penetapan standar oleh SukkhaCitta terkait permasalahan yang sedang terjadi dalam industri kerajinan Indonesia. Terlepas dari itu, Denica menerangkan bahwa #MadeRight sebenarnya adalah sebuah gerakan yang sedang berusaha ia suarakan untuk mengajak para pelaku industri fesyen untuk menuntut praktik industri yang lebih beretika.
Untuk mewujudkan hal ini, Denica pun mengangkat tiga pilar utama sebagai pedoman usahanya. Pilar-pilar tersebut antara lain:
- Pemberian upah yang layak

(Foto: Dok. SukkhaCitta)
Poin ini diwujudkan dengan penyesuaian upah artisan dengan kebutuhan hidupnya. Sebelum menentukan seberapa besar upah yang akan diberi, Denica akan melakukan perhitungan atas biaya hidup mereka dengan mengasumsikan seorang artisan memiliki sebuah keluarga dengan dua anak. Denica dan tim juga akan memperhitungkan faktor kebutuhan lain diluar kecukupan harian, seperti kesehatan dan pendidikan yang layak. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk memberhentikan praktik eksploitasi terhadap kalangan pengrajin perempuan berkeluarga.
- Pemberian dampak baik terhadap lingkungan

(Foto: Dok. SukkhaCitta)
Melalui situs resminya, SukkhaCitta telah menerangkan upaya apa saja yang mereka lakukan untuk memberi dampak baik terhadap lingkungan. Pertama-tama, produk yang dihasilkan menggunakan material ramah lingkungan, mulai dari raw cotton dari Desa Medono, Jawa Tengah, polyester daur ulang, hingga material Tencel dan Sylk yang terbuat dari serat tumbuhan kayu putih yang diproses melalui closed-loop facility hasil produksi Lenzing AG. Pewarna yang mereka gunakan juga berasal dari alam dan dapat dilacak asal muasalnya sejauh proses penanaman tanaman tersebut. Tanaman yang digunakan bisa berasal dari koperasi tani miliknya, SweetIndigo™, atau diambil dari limbah makanan dan industrial yang terdapat di wilayah itu.
Tidak berhenti sampai situ saja, mulai tahun 2020, SukkhaCitta juga bertransisi untuk membangun sistem pertanian regeneratif. Mereka menanam berbagai tanaman di sekitar kebun kapas dan tanaman indigo sehingga meniru ekosistem hutan dengan tanaman yang berlimpah. Melalui program ini, SukkhaCitta berharap untuk melestarikan lingkungan hidup serta meningkatkan kualitas tanah dan mengurangi hama secara alami yang pada akhirnya juga akan meningkatkan pendapatan para petani kecil.
- Penjagaan keberlanjutan budaya Indonesia

(Foto: Dok. SukkhaCitta)
Terakhir, Denica ingin melestarikan budaya Indonesia melalui SukkhaCitta. Sebagai contoh, masyarakat mengetahui batik sebagai sebuah proses penghasilan motif melalui menitik dan melukis dengan canting atau cap dan lilin malam. Namun kenyataannya saat ini batik dengan proses pencetakan pun kian bermunculan dan menggeser esensi tradisi dari batik itu sendiri. Maka dari itu, Denica pun mendirikan sebuah program pemberdayaan artisan bernama “Jawara Desa.”
Pembinaan yang diberi oleh program ini berupa pelatihan dan bantuan kredit usaha mikro. Setelah menyelesaikan program ini, para artisan terpilih diharapkan dapat menyalurkan pengetahuan mereka ke artisan lain di wilayah tersebut. Denica juga menyadari bahwa setiap wilayah memiliki spesialisasi kerajinan yang berbeda-beda. Dari sini ia menciptakan konsep one village, one collection dimana setiap desa memproduksi sebuah produk dengan tema yang unik dan menggambarkan kisah mereka serta wilayahnya.
Meraih Berbagai Penghargaan

(Foto: Dok. The Jakarta Post, foto oleh Wening Gitomartoyo)
Tiga tahun setelah berdirinya SukkhaCitta, kerja keras Denica pun mulai dikenal, tidak hanya secara nasional, tetapi juga secara global. Pada tahun 2018, ia berhasil mendapat pendanaan dari Bank DBS. Di tahun selanjutnya, Denica juga masuk ke dalam 30 Under 30 Forbes Asia pada kategori Social Entrepreneurs setelah sebelumnya berada pada The process of indigo dyeing on fabrics is demonstrated at the ‘t’angan’ exhibition by SukkhaCitta at the Bank Indonesia Museum in Jakarta on Dec. 7, 2019. (JP/Wening Gitomartoyo) 40 Under 40 Millennials with Impact in Indonesia 2017 versi MarkPlus Institute. Pencapaian terakhir yang ia peroleh adalah di tahun 2020 dimana SukkhaCitta dinobatkan sebagai salah satu finalis dalam kategori wilayah Asia Pasifik pada ajang penghargaan World Changing Ideas Awards yang diselenggarakan oleh Fast Company, menjadikan SukkhaCitta sebagai satu-satunya label asal Indonesia yang dikenali oleh majalah tersebut.
Seperti halnya usaha lain, SukkhaCitta mengalami dampak dari pandemi COVID-19. Walau banyak yang menyarankan untuk memberhentikan produksi barangnya secara sementara, namun Denica dan tim tetap bertahan untuk memberi dukungan pada para artisan yang terkena dampak lebih buruk lagi dibanding mereka.
Tidak hanya berhasil membantu menopang perekonomian para artisan, SukkhaCitta juga berhasil menyelenggarakan pelatihan jarak jauh, menyumbang sebanyak 3.350 masker untuk masyarakat pedalaman. Seluruh keuntungan dari penjualan yang dilakukan oleh SukkhaCitta, sebanyak 29 persen akan masuk ke dalam pengembangan keahlian artisan, 17 persen dijadikan sebagai dana penelitian, 21 persen untuk biaya operasional, dan 33 persen akan diberikan kepada artisan mitra untuk menunjang kebutuhan hidup mereka.
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang Denica dan SukkhaCitta, dapat dilakukan melalui situs resmi mereka di sukkhacitta.com, atau ikuti akun Instagram SukkhaCitta.
Penulis: Nabila Nida Rafida | Editor: Mega Saffira | Sumber: Angin | DBS | Great Mind | Satu Tumbuh Seribu by Valbury | The Jakarta Post | [Accessed 9 April 2021″>Zero Waste ID
