
(Foto: Dok. Manchester City)
Akhir bulan Juli 2021 silam, tepatnya pada tanggal 29 Juli 2021, berbagai media olahraga, fesyen, hingga gaya hidup, serempak memberitakan tentang peluncuran seragam tandang (away kit) terbaru untuk musim 2021-2022 dari klub bola asal Manchester, Inggris, Manchester City. Seragam tandang ini disebutkan sebagai seragam yang spesial karena memiliki konsep dan filosofi yang tak sekedar terletak pada keunikan desainnya secara visual.
Diproduksi oleh jenama (brand) pakaian olahraga PUMA, yang merupakan sponsor resmi dari Manchester City, seragam tandang ini memetik inspirasi dari air. Mengusung slogan “Football as a force for good”, atau “Sepak bola sebagai kekuatan untuk kebaikan”, peluncuran seragam tandang ini juga dilakukan dengan menggandeng Cityzens Giving, badan amal global dari Manchester City, yang memiliki fokus pada penggunaan olahraga sepak bola sebagai medium dalam peningkatan kesadaran serta akses akan air bersih di seluruh dunia, juga penggunaan teknologi Dope Dye oleh PUMA yang mengurangi kadar konsumsi air dalam produksi seragam tersebut.
Merupakan Kampanye Sosial Terkait Air Bersih

(Foto: Dok. Machester City)
Dalam artikel di situs resmi Manchester City, disebutkan bahwa “Satu dari tiga orang di seluruh dunia tidak memiliki akses ke air minum yang aman”. Dengan diluncurkannya seragam tandang ini, PUMA berkolaborasi dengan pihak Cityzens Giving bersamaan dengan Xylem, mitra teknologi air resmi Manchester City, untuk menyediakan program inovatif secara global, di mana pendidikan berbasis sepak bola dipadukan dengan pendidikan terkait air, sanitasi, kebersihan, juga akses menuju air bersih bagi berbagai komunitas yang membutuhkan.
Dengan target untuk mencapai setidaknya 10.000 anak muda di beberapa kota yang tersebar di tiga benua, yaitu Manchester, São Paulo, Buenos Aires, juga Mumbai, program ini telah dimulai dengan dibangunnya menara air bersih di Mumbai. Menara ini dapat menghasilkan pasokan air minum bersih dan aman berjangka panjang, yang dapat memenuhi kebutuhan sekitar 1.800 orang setiap harinya.
“Jersey kami adalah ekspresi dari apa yang diperjuangkan Klub kami dan kami senang bahwa seragam musim ini akan digunakan untuk menyoroti masalah vital akses air bersih.”- Tom Pitchon, Direktur City Football Foundation.
Desain yang Terinspirasi dari Tetesan Air


Secara desain, seragam ini menampilkan tetesan air pada seluruh desainnya, dengan elemen-elemen seperti logo-logo sponsor dan lambang klub dibuat dengan gradasi warna magenta, ungu, dan cyan, sebagai representasi spektrum warna yang dihasilkan oleh cahaya yang menembus tetesan air. Terdapat pula lining berwarna biru laut di bagian bahu dan ujung kedua lengan.
Teknologi Pewarnaan Dope Dye


(Foto: Dok. Manchester City)
Tak hanya memiliki dampak positif secara sosial terkait akses air bersih, serta penggunaan konsep air pada desainnya, seragam tandang ini juga diproduksi menggunakan teknik pewarnaan Dope Dye, yang menggunakan lebih sedikit konsumsi air serta bahan pewarna, dibandingkan pada proses pewarnaan seragam sepak bola pada umumnya.
Heiko Desens, Direktur Kreatif dan Inovasi Global dari PUMA menjelaskan, “Proses Dope Dye memungkinkan kami untuk mewarnai bahan mentah sebelum dipintal atau dirajut menjadi tekstil yang memungkinkan kami melewatkan proses pewarnaan intensif air untuk mewarnai benang atau bahan rajutan.” Ia juga menambahkan, metode Dope Dye juga dapat meningkatkan ketahanan warna dari kelunturan dengan cara mengurangi tingkat pemudaran warna setelah dicuci atau terpapar cahaya matahari, yang mana merupakan fitur yang sangat penting dalam produk tekstil yang sering dipakai di luar ruangan, termasuk seragam sepak bola.
Apa itu Dope Dye?


(Foto: Dok. European Spinning Group, JLD)
Meski dalam peluncuran seragam tandang Manchester City ini, istilah Dope Dye terdengar seperti teknologi baru, sebenarnya teknik ini sudah dikenal sejak beberapa tahun ke belakang. Dope Dye sendiri berasal dari kata ‘Dope‘ yang berarti tahap atau fase di mana polimer dari material mentah benang sedang berada dalam bentuk semi-cair, dan ‘Dye‘ yang berarti pewarna atau proses pewarnaan.
Teknik pewarnaan tekstil konvensional (wet dyeing) hingga saat ini masih lebih banyak digunakan oleh para produsen tekstil, alasannya antara lain adalah fleksibilitas dalam proses produksi, di mana proses pewarnaan tekstil dapat dilakukan dalam jumlah yang sangat kecil, sehingga proses untuk setiap warna yang dihasilkan pun dapat menjadi lebih singkat, dan berujung pada proses distribusi yang juga menjadi lebih cepat. Teknik konvensional tersebut dilakukan dengan cara mencelupkan kain yang sudah jadi ke dalam air yang sudah dilarutkan zat pewarna, yang tentunya menyebabkan tingkat penggunaan air serta limbah pabrik yang lebih tinggi.
Pada teknik Dope Dye, pewarnaan tidak dilakukan pada kain yang utuh, namun pada benang dalam proses pemintalan. Lebih tepatnya, pewarna dalam bentuk kering dicampurkan secara langsung bersamaan dengan polimer (bentuk padat) dari material dasar benang, sebelum akhirnya dicairkan dengan panas tinggi, kemudian disaring melalui lubang-lubang spinneret pada mesin pemintal dan membentuk gulungan benang yang siap diproduksi menjadi kain. Dengan proses demikian, penggunaan air serta energi dalam proses pewarnaan pakaian tentunya menjadi sangat terminimalkan, juga lebih sedikitnya jejak karbon serta limbah zat pewarna yang dihasilkan dibandingkan teknik pewarnaan konvensional. Menurut data dari sebuah perusahaan asal Swedia, We aRe SpinDye, teknologi Dope Dye dalam proses pewarnaan mereka menggunakan hingga 75% lebih sedikit air, 90% lebih sedikit bahan kimia, juga mengurangi jejak karbon hingga 30%.
Namun kebalikan dari teknik pewarnaan konvensional, teknik Dope Dye memiliki fleksibilitas produksi yang lebih terbatas, karena untuk memproduksi kain dengan warna tertentu, dibutuhkan tahapan dari awal pemintalan benang, proses tenun, hinggan finalisasi, yang jelas membutuhkan waktu yang lebih banyak dan tahapan yang lebih kompleks. Meski demikian, masalah ini dapat diatasi seiring berkembangnya teknologi manufaktur yang memungkinkan benang untuk diproduksi dalam jumlah yang lebih sedikit.

(Foto: Dok. We aRe SpinDye)
Seperti yang sempat disebut oleh pihak klub bola Manchester City, teknik Dope Dyeing yang juga kerap disebut dengan Mass Dyeing (proses pewarnaan secara massal), Solution Dyeing, Spin Dyeing, atau Mass Pigmentation, juga memberikan ketahanan warna yang lebih kuat pada benang, yaitu sekitar 2000-4000 jam di bawah paparan cahaya (sesuai standar tes ISO 105 B04). Hal ini disebabkan oleh zat pewarna yang terserap hingga ke bagian terkecil atau inti dari benang, sementara pada teknik Wet Dye, zat pewarna hanya menyerap di permukaan kain. Keunggulan lainnya dari Dope Dyeing adalah, teknologi ini dapat digunakan secara efektif pada pewarnaan benang sintetis hasil daur ulang dengan konsistensi dan ketepatan warna yang stabil. Pada teknik pewarnaan konvensional, hasil pewarnaan kain yang menggunakan material daur ulang dapat memiliki warna yang berbeda yang disebabkan oleh tingkat penyerapan yang tidak merata pada jenis benang dan kain yang dapat memiliki karakter berbeda.
Penulis & Editor: Mega Saffira | Sumber: Manchester City FC | Setas Color Center | Fibre2Fashion | Woven & Knit | E-Krishi Shiksha | Mountain Equipment UK | European Spinning Group | E-dye | We aRe SpinDye | PALTEX
