
(Foto: Dok. Bengal Muslin)
Pada abad ke-18, Eropa sempat digemparkan dengan kemunculan sebuah jenis kain. Permukaan kain ini sangat transparan bahkan penggunanya terlihat seolah-olah sedang tidak memakai pakaian apapun. Bersifat ringan dan lembut seperti angin, kain ini pun dijuluki ‘baft-hawa‘, yang berarti ‘udara yang di tenun’.

(Foto: Dok. Drik/Bengal Muslin)
Dhaka Muslin adalah nama dari kain tersebut. Sebuah kain mewah yang berasal dari sebuah daerah dengan nama yang sama yang kini sering disebut sebagai Bangladesh. Setelah hampir 2 abad menghilang, tekstil kuno yang terbilang punah ini akhirnya kembali hadir di dunia.
Baca juga:
- “pui:krahkyany”: Sutra Bunga Teratai dari Danau Inle, Myanmar
- Menilik Teknik Celup Ikat dan Sejarahnya di Berbagai Negara
- Mengenal Karpet Berber, Kerajinan Tangan Warisan Suku Berber di Maroko
Dhaka Muslin: Tekstil Kuno yang Hilang

(Foto: Dok. Bengal Muslin)
Sebelum pada akhirnya memasuki Eropa dan digunakan sebagai gaun oleh para bangsawan dan aristokrat, pada masa kejayaan kerajaan Mughal di abad ke 15, Dhaka Muslin dibawa oleh berbagai pelaut dan pedagang dari Timur Tengah untuk diperjualbelikan. Nilai Dhaka Muslin yang tinggi karena kualitasnya semakin meningkat karena penggunanya yang pada saat itu terbatas pada anggota keluarga kerajaan saja.

(Foto: Dok. Bengal Muslin)
Sayangnya, di tahun 1793, Inggris datang untuk menjajah Bangladesh dan mendirikan sebuah pabrik manufaktur, The East India Company, yang kemudian mengambilalih seluruh kerajaan Mughal. Sejak itu, Inggris pun mengontrol produksi dan perjualbelian Dhaka Muslin ke Eropa, memaksa para pengrajin untuk bekerja keras dengan imbalan yang tidak seberapa.

(Foto: Alamy via BBC)
The East India Company yang merekam semua detail dari teknin pembuatan Dhaka Muslin pun membawa ilmu tersebut kembali ke Inggris. Kain Muslin dengan kualitas dan harga yang lebih rendah pun dibuat di Lancashire. Meski tidak memiliki keistimewaan yang sama dengan Dhaka Muslin, kain ini kemudian berhasil menarik perhatian pasar.

Terlilit banyak hutang akibat upah yang rendah serta kehilangan banyak pelanggan, para pengrajin Dhaka Muslin banyak yang beralih ke produksi kain katun dengan kualitas rendah atau menjadi petani. Kapas istimewa yang digunakan untuk membuat Dhaka Muslin juga tidak berhasil dibudidayakan di tempat lain selain habitat asalnya, yaitu sepanjang sungai Meghna di Bangladesh. Selain kain-kain yang telah terjual serta yang tersimpan di museum-museum, Dhaka Muslin pun musnah seutuhnya.
Melalui 16 Tahap Proses Produksi

(Foto: Shahidul Alam/Drik, via Aramcoworld)
Tingginya harga Dhaka Muslin bukanlah tanpa alasan. Untuk menghasilkannya harus melalui 16 tahap proses produksi yang berlangsung selama berbulan-bulan. Tidak hanya itu, jenis tumbuhan kapas istimewa yang digunakan sebagai bahan utama pembuatan Dhaka Muslin, Phuti karpas, hanya berbunga sebanyak dua kali dalam setahun.

Tidak seperti katun pada umumnya yang diambil dari tanaman Gossypium hirsutum, Phurti karpas (Gossypium arboreum var. neglecta) menghasilkan katun yang lebih padat namun rentan terurai. Maka dari itu, dibutuhkan keahlian khusus untuk mengolah tanaman ini. Di saat kain muslin yang ditenun menggunakan kapas biasa memiliki tingkat kepadatan benang di kisaran 40-80, Dhaka Muslin dengan Phuti Karpas berada di kisaran 800-1200, melebihi jenis katun lainnya yang ada di dunia.

(Foto: Dok. Shahidul Alam/Drik, via Aramcoworld)
Pertama-tama, bola-bola kapas dibersihkan menggunakan gigi sebuah ikan boal catfish (ikan tapah). Setelah itu, serat-serat kapas dipintal saat cuaca sedang lembab, biasanya di pagi dan sore hari.

(Foto: Dok. Bengal Muslin)
Proses pemintalan pun tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, hanya perempuan muda yang diperbolehkan melakukannya. Hal ini dikarenakan orang yang sudah tua biasanya tidak bisa melihat benang halus Dhaka Muslin. Selain itu, untuk menambah kelembaban, para pemintal ini biasanya memintal benang di atas kapal atau dekat sungai sambil sedikit membasahi jemari tangan mereka.

Terakhir, setelah benang-benang halus telah terkumpul, saatnya proses tenun dimulai. Proses ini membutuhkan waktu paling lama, minimal dua bulan. Dengan menggunakan dhunkar, sebuah busur bambu yang diikat menggunakan kawat, para penenun dengan teliti membentuk pola di atas benang tenun tersebut.

Pembuatan kain Dhaka Muslin juga dapat ditenun dengan teknik jamdani, yaitu pembuatan detail ornamen menggunakan kombinasi benang lainnya maupun diaplikasikan dengan teknik sulam chikankari sebagai elemen dekoratif pada kain dengan efek timbul. Selain dibuat dalam warna putih transparan, terdapat juga kain Dhaka Muslin yang dibuat menggunakan warna-warna cerah.
Saiful Islam dalam Upayanya Menghidupkan Kembali Dhaka Muslin

(Foto: Dok. Drik/Bengal Muslin)
Setelah menghilang dua abad lamanya, Dhaka Muslin kembali menarik perhatian pemerhati tekstil internasional. Semua ini dimulai pada tahun 2013, ketika seorang pria asal Bangladesh bernama Saiful Islam mendirikan Bengal Muslin, sebuah inisiatif yang berfokus pada penghidupan kembali kain Dhaka Muslin di Bangladesh.

Pada awalnya, di perusahaan tempat ia dulu bekerja, Drik Picture Library, Islam diberi tanggung jawab untuk mengadaptasi material pameran seni berbahasa Inggris untuk orang-orang Bangladesh. Islam pun melakukan berbagai penelitian yang membawanya ke Dhaka Muslin. Akhirnya, ia bersama beberapa rekannya tergerak untuk mencoba menghidupkan kembali kain kuno tersebut.


Namun, untuk berhasil memproduksi kembali Dhaka Muslin, Islam harus menemukan bahan utamanya terlebih dahulu, tanaman Phuti karpas. Pertama-tama, ia mengunjungi Royal Botanic Gardens di London yang menyimpan spesimen Phuti karpas dari abad 19 lalu.

Kemudian, Islam pun pergi ke Sungai Meghna, habitat asli Phuti karpas, dan meneliti semua tanaman yang terlihat seperti contoh spesimen dari Royal Botanic Gardens. Setelah itu, ia pun melakukan penyilangan DNA dan, akhirnya, Phuti karpas pun ditemukan.

Pada tahun 2015, Islam menanam biji Phuti karpas pertamanya dan bola-bola kapas juga ia panen di tahun yang sama. Sayangnya, Islam masih belum bisa meghasilkan Dhaka Muslin yang 100 persen autentik karena tidak memiliki bahan baku yang cukup. Ia pun harus memodifikasi Dhaka Muslin dengan menambahkan serat bambu. Kemudian pada tahun 2017, kecocokan DNA yang berhasil dikembangkan oleh Islam dan timnya telah mencapai 70%.

Permasalahan baru pun muncul ketika Islam tidak menemukan pengrajin yang bersedia untuk membuat Dhaka Muslin karena dianggap tidak akan memberi keuntungan yang setimpal dengan tenaga yang mereka beri.

(Foto: Shahidul Alam/Drik, via Aramcoworld)
Islam pun kembali memutar otak dan akhirnya memutuskan untuk menggunakan bantuan mesin pengontrol suhu dan humidifier di dalam pabriknya untuk mengatur kelembaban udara yang ideal. Dari 25 penenun yang ia hubungi, hanya 1 orang yang akhirnya bergabung ke dalam timnya, yaitu Al-Amin, yang kini menjadi penenun utama mereka.

Untuk semakin mempermudah proses produksi, Islam bersama timnya pun mengembangkan alat yang disebut shana. Alat ini terbuat dari kayu dengan ribuan gigi-gigi artifisial yang digunakan sebagai pengganti gigi ikan tapah asli.

Hingga kini, Al-Amin berhasil membuat kain Dhaka Muslin dengan kepadatan benang hingga 300 benang. Meski belum mencapai kepadatan aslinya yaitu 800-1200 benang, kualitas kepadatan benang pada kain ini sudah jauh melampaui kualitas kain muslin biasa.
Masa Depan Dhaka Muslin di Industri Tekstil Global
Setelah melalui berbagai pencapaian termasuk diadakannya Muslin Festival, seminar, hingga pembuatan publikasi berupa buku dan film Legend of The Loom, kini di tahun 2021, Bengal Muslin telah berhasil menjual produk Dhaka Muslinnya secara global. Pemerintah Bangladesh pun turut mendukung revitalisasi kain warisan budaya mereka.
Tidak hanya itu, Islam pun berhasil menginspirasi peneliti lain untuk turut berpartisipasi dalam penghidupan kembali sang tekstil kuno. Seperti Monzur Hossain, Kepala Departemen Botani dari Rajshahi University, Bangladesh, yang sedang membuat sebuah proyek untuk memproduksi Dhaka Muslin Autentik. Hossain pun berhasil menggaet Menteri Tekstil dan Rami Bangladesh, Golam Dastagir Gazi, untuk membantu produksi massal Dhaka Muslin.
Untuk mengetahui lebih detail mengenai perjalanan revitalisasi Dhaka Muslin, kunjungi situs resmi Bengal Muslin di bengalmuslin.com.
Penulis: Nabila Nida Rafida | Editor: Mega Saffira | Sumber: Bengal Muslin | BBC | AramcoWorld | Smithsonian Magazine | ED Times | Encyclopedia of Crafts in Asia Pacific Region
