Hinggi: Wastra Sarat Makna dari Sumba Timur

Salah satu kain Hinggi dari Sumba yang dipamerkan di Museum Tekstil di Jakarta. (Foto: Dok. The Textile Map)

Sumba, Nusa Tenggara Timur, merupakan salah satu daerah di Indonesia yang terkenal akan kekayaan budayanya yang berupa wastra tenun ikat. Sumba memiliki beberapa jenis kain tenun yang berbeda-beda karakteristiknya, antara lain adalah kain Hinggi dan Lau.

Mulanya, kain Hinggi merupakan kain sakral yang hanya boleh digunakan oleh para raja. Namun seiring berjalannya waktu, masyarakat biasa pun diperbolehkan mengenakan kain Hinggi untuk upacara-upacara adat yang sakral seperti pernikahan dan pemakaman.

Baca juga:

Sasirangan: Kain Penyembuh Warisan Suku Banjar

Mengenal Sulam Usus, Kain Tradisional Warisan Suku Lampung Pepadun

Tenun Gringsing: Kain Tenun Ikat Ganda dari Desa Tenganan, Bali

Hinggi dan Lau Pahikung

Empat anggota keluarga kerajaan Pau di tahun 1985 yang masing-masing menggunakan Lau Pahikung. (Foto: Dok. Asian textile Studies).

Sumba Timur memiliki dua jenis kain tradisional utama, yaitu Hinggi (selimut tenun ikat), untuk kaum pria, dan Lau Pahikung (sarung yang disulam) untuk perempuan. Dua kain ini memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sosiokultural komunitas lokal, yaitu sebagai barang yang dipertukarkan pada upacara seperti pernikahan dan pemakaman, serta sebagai hadiah atau souvenir.

Ketika kain Hinggi merupakan kain tenun ikat yang memiliki motif yang ditenun langsung menjadi kain, Lau Pahikung dibuat dengan selembar kain sarung polos dengan satu hingga tiga warna yang kemudian disulam di bagian bawahnya. Umumnya, kain Lau Pahikkung memiliki warna dasar gelap, seperti hitam, biru, atau merah tua, yang kemudian dihias dengan sulaman benang dengan warna lebih terang.

Proses Produksi

Seorang perempuan Sumba yang tengah menenun kain. (Dok. ANTARA Foto, foto oleh Anis Efizudin)

Kelebihan lainnya dari kain tradisional ini tak hanya berada pada desainnya yang unik, simbol dekoratif yang penuh filosofi, serta warna alam yang menarik, tapi juga pada proses penenunan yang melibatkan ‘jiwa’ atau ‘ruh’ dari para pengrajinnya, yang menempuh proses pengerjaan sarat akan kesabaran dan kegigihan. Kain tenun ikat di Sumba Timur pula memiliki 42 mata rantai produksi yang menyebabkannya membutuhkan waktu sekitar 6 bulan untuk proses pembuatan. Bahan pewarna alam yang biasa digunakan antara lain daun, akar dan kulit daun, kulit batang maupun cabang, serta daging buah.

Berdasarkan dari tulisan Emanuel Dapa Loka pada sebuah artikel di Indonesialogue, terdapat beberapa larangan dalam proses pembuatan kain Hinggi. Menurut Agustina Kahe Atanahu, seorang ahli pewarnaan kain Hinggi di Sumba, proses pewarnaan kain hingga saat ini hanya dilakukan oleh kaum perempuan. Namun, seorang perempuan yang sedang dalam menstruasi tidak boleh melakukan proses pewarnaan, khususnya biru.

Individu yang memiliki gangguan mental pun konon dilarang untuk berpartisipasi dalam proses pewarnaan. Terkait hal ini, Agustina menjelaskan, dikarenakan seseorang yang memiliki gangguan mental dikhawatirkan dapat mengalami kebingungan akan warna-warna yang digunakan.

Motif Kain Hinggi yang Penuh Pesan Moral dan Pepatah

Contoh motif kuda pada kain Hinggi, Museum Tekstil Jakarta. (Dok. The Textile Map)

Penggunaan Hinggi sebagai kain penutup jasad disebut dikarenakan sifatnya secara fisik yang dapat menangkal bau dari jasad yang membusuk, serta secara spiritual, menurut kepercayaan masyarakat Sumba, kain dengan kualitas istimewa itu akan menjadi pakaian orang yang meninggal tersebut di alam baka.

Selain motif hewan air seperti udang, ikan, dan kura-kura, terdapat juga motif hewan lainnya yang kerap digunakan pada kain Hinggi. Contohnya motif berbentuk kuda, kerbau, kadal, rusa, ular, ayam, dan babi. Penggunaan motif kerbau menggambarkan tradisi pernikahan di Sumba di mana pengantin diharuskan untuk membawa hingga ratusan kerbau. Sedangkan kuda dianggap sebagai simbol hewan yang mengantarkan orang-orang yang telah meninggal.

Bila motif kuda dan kerbau lebih bersifat simbolis dan digunakan pada upacara tertentu, motif kadal, rusa, dan ular lebih bersifat filosofis. Motif kadal digunakan sebagai lambang peringatan untuk menghindari kegamangan, rusa untuk menghindari kesombongan, serta ular untuk menghindari kemarahan. Sementara itu, motif ayam dan babi dikatakan mengandung nilai-nilai kehidupan sehari-hari, di mana motif kain dibuat sebagai pesan agar masyarakat memelihara ternak untuk menyambung hidupnya.

Ragam Kain Hinggi

  1. Hinggi Kombu Kanatang: Kata ‘kombu’ sendiri memiliki arti sebuah nama pohon (mengkudu/Morinda citrifolia) yang akarnya menghasilkan pewarna alami merah. satu kain Hinggi Kombu tertua adalah Kain Hinggi Kombu Kanatang asal Kanatang, Sumba Timur, yang sudah berusia lebih dari 60 tahun. Ditenun menggunakan teknik hondu kapit dan hita, Hinggi Kombu Kanatang adalah kain yang digunakan penasihat raja pada masanya. Keistimewaan kain ini terdapat pada adanya motif hita kanatang pada pinggiran kiri dan kanan kain, serta pada penggunaan dua teknik, ikat dan pahikung, yang dikombinasikan.
  2. Hinggi Kawura Bara Padua: Kain Hinggi yang dibuat dengan teknik hondu kapit, yaitu teknik di mana motif bagian ujung atas dan bawah kain sama. Kain ini adalah jenis kain yang digunakan hanya oleh para raja. Kain ini umumnya berwarna dasar putih polos. Motif Naga Parara Mata Mandung pada kain ini mencerminkan kekuatan raja.
  3. Hinggi Kombu Pahikung Padua: Kain Hinggi yang dibuat dengan teknik hondu kihil di mana motif bagian ujung atas dan bawah kain berbeda. Motif udang yang terdapat pada kain ini menjadi simbol dari reinkarnasi, berdasarkan pepatah kurra hillu jullu yang artinya ‘udang tak pernah mati, hanya berganti kulit’. Kain ini juga memiliki pesan filosofis lainnya yaitu janganlah menjadi seperti udang yang berjalan mundur, ataupun gabus yang melayang di atas air. Pesan ini disiratkan agar generasi muda bersikap optimis akan masa depan namun juga tetap membumi dalam kehidupan.
  4. Hinggi Kombu Garuda: Kain ini adalah simbol nasionalisme, di mana motif garuda lahir terkait dengan kunjungan Presiden Soekarno ke Sumba pada tahun 1960. Simbol Garuda sebagai lambang negara kemudian diinterpretasikan dalam tenunan sebagai wujud kesadaran, kebangsaan, serta nasionalisme.
  5. Hinggi Kombu Andung: Kain ini menggunakan motif pohon yang dijadikan simbol kemenangan, karena pohon Andung memiliki posisi yang terhormat di Sumba. Konon, pohon Andung hanya ditanam di tanah rumah yang ditempati raja. Motif dari kain ini juga mengilustrasikan proses pemakaman raja.

Pentingnya Dukungan Pemerintah Untuk Penenun Sumba Timur

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, dalam dialognya di Sekolah Tenun Ikat Pahikung, Agustus 2022. (Foto: Dok. Ryan Nong)

Meski popularitas kain tenun ikat dari Sumba baik Barat maupun Timur sudah cukup tinggi di kalangan masyarakat, pelestarian kekayaan budaya ini masih banyak membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Kesulitan yang saat ini kerap dihadapi para penenun antara lain sulitnya mencari beberapa bahan pewarna alami seperti buah mengkudu, kebutuhan mesin pengolah warna dan peralatan pendukung alat tenun bukan mesin, serta pemasaran yang masih terbatas.

Komunitas penenun perempuan menyampaikan kesulitan-kesulitan tersebut serta harapannya akan terus adanya dukungan dari pemerintah dalam dialog bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga di Sekolah Tenun Ikat di Sumba Timur tak lama ini. Pada peresmian Sekolah Tenun Ikat Maret 2021 lalu pun, Krishtofel Praing, Bupati Sumba Timur turut menyiratkan kecemasannya akan tingginya harga kain tenun ikat di pasaran yang keuntungannya justru belum banyak dinikmati oleh penenun kain-kain berharga tersebut.

Seiring mengharapkan dukungan pemerintah, ada baiknya pula masyarakat umum dapat mendukung pelestarian kain tradisional Indonesia seperti Hinggi dengan cara turut mempromosikannya, mempelajarinya, dan tentunya apabila mampu, membelinya. Saat ini, kita dapat melihat beberapa koleksi kain Hinggi yang sakral secara langsung salah satunya di Museum Tekstil di Jakarta Barat. Kunjungi situs resminya untuk informasi lebih lanjut.

Penulis/Editor: Mega Saffira | Sumber: Indonesialogue | Antara News | Media Indonesia 1 2 | Gerai Nusantara | Kompas | Ninin Menulis | Asian Textile Studies | Tribun News Kupang

Leave a comment