


Melalui gaya berpakaian yang eksentrik dan selalu berdampingan dengan sentuhan rona cerah, Diana Rikasari mampu menebarkan kebahagiaan kepada orang-orang di sekitarnya. Bagi yang belum mengenalnya, Diana Rikasari adalah seorang tokoh industri fesyen asal Indonesia yang juga seorang blogger, entrepreneur, desainer, juga penulis buku, yang kini aktif di dunia pendayagunaanulang atau lebih dikenal dengan istilah upcycling.


Karya kolaborasi Diana Rikasari dengan label asal Swiss, Maniak. (Foto: Dok. Diana Rikasari)
Diana Rikasari mulai dikenal melalui blog fesyen-nya yang bertajuk Hot Chocolate and Mint di tahun 2007 silam. Semenjak itu, Diana juga telah merintis sebuah label sepatu, I Wear UP, dan menulis seri buku berilustrasi #88LoveLife serta seri buku anak My Rainbow Days. Kemudian ketika pandemi melanda, pada tahun 2020 Diana mulai menekuni dunia upcycling dan hingga kini telah berkolaborasi dengan berbagai label internasional seperti COE, Lifer, Ragyard, Toiletries Amnesty, Berriez, Maniak, juga Urban Outfitters.

Di pertengahan tahun 2022 lalu, Mega Saffira dari The Textile Map, berkesempatan untuk melakukan wawancara eksklusif melalui surel bersama Diana Rikasari yang kini menetap di Lausanne, Swiss, bersama keluarganya. Melalui wawancara ini, Diana bercerita mengenai perjalanan karirnya, bagaimana upcycling telah mengubah hidupnya dan kepeduliannya terhadap pelestarian bumi.
Baca juga:
The Upcycling Heroes #1: Street Vision, Jasa Ubah Fungsi oleh Aziz Dilpa Mario
Zero Waste Daniel: Label Fesyen Tanpa Limbah karya Daniel Silverstein
Thrift District 2021: Wanderlust, Thrift Bazaar Terbesar di Kota Bandung
#88LoveLife dan My Rainbow Days, koleksi buku karya Diana Rikasari. (Foto: Dok. Detik, Mizanstore)
Mega (M):Hi Diana, thank you for agreeing to respond to this interview. I appreciate it a lot. As a start, may I ask you how would you describe yourself and what you do to a stranger?
Hai Diana, terima kasih ya telah menyetujui wawancara ini. Kami sangat mengapresiasinya. Sebagai permulaan, bolehkah kami bertanya bagaimana Anda menggambarkan diri Anda dan apa yang Anda lakukankepada orang yang baru kamu temui?
Diana (D): Hi, I’m Diana Rikasari, a fashion designer, book author, and an upcycling artist. I love bright, happy colors and I love to have fun with fashion in a mindful way.
Hai, saya Diana Rikasari, seorang perancang busana, penulis buku, dan penggiat upcycling. Saya suka warna-warna cerah dan bahagia, dan saya senang menghabiskan waktu dengan fashion, tanpa meninggalkan perhatian dari alur produksinya.
M: I first learned about you back in around 2006-2009 through your fashion blog. I think it’s safe to say that you are one of the pioneers of OOTD culture in Indonesia! Would you like to tell me the story behind the creation of your blog back then? Have you been into dressing up even before the blogging era started?
Kami pertama kali mengetahui tentang Anda sekitar tahun 2006-2009 melalui fashion blog Anda. Kami rasa aman untuk mengatakan bahwa Anda adalah salah satu pelopor budaya OOTD di Indonesia! Maukah Anda menceritakan kisah di balik pembuatan blog Anda saat itu? Apakah Anda memang gemar bersolek sebelum era blogging dimulai?
D: Blogging was definitely my creative outlet, a way to express my ideas and thoughts to the world. I actually started my blog as a personal diary, but it naturally evolved into a platform with many readers and followers.
Menulis blog jelas merupakan cara saya menyalurkan kreativitas saya, cara untuk mengekspresikan ide dan pemikiran saya kepada dunia. Saya sebenarnya memulai blog saya sebagai buku harian pribadi, tetapi secara alami berkembang menjadi platform dengan banyak pembaca dan pengikut.

M: I believe that things started to change when Instagram came into the picture. Would you mind to share how your blog then shifted its forms, and how your styling content then also shifted into upcycling? Which era do you like better if you have to compare it now?
Kami percaya bahwa segalanya mulai berubah ketika Instagram muncul. Maukah Anda membagikan bagaimana blog Anda kemudian mengubah ‘bentuk’nya, dan bagaimana konten Anda kemudian juga berubah menjadi tentang upcycling? Era mana yang lebih Anda sukai jika harus membandingkannya dengan sekarang?
D: I honestly prefer the blogging era, where sharing felt more authentic and genuine and us bloggers were not focused on “likes” and “views”. But it’s also a fact that people don’t read blogs anymore nowadays, and as artists / creators / entrepreneurs, we need to “promote” our work, so there’s not much choice but to keep up with the platform shift.
I’ve always loved fashion since I was a kid, playing dress up. But I’ve also always wanted to learn how to sew and make my own clothes, and only had the chance to learn and start doing it around 2 years ago. There is joy in creating something from your own hands, knowing that each little detail was made by you no matter how imperfect it might be. I only started upcycling when the pandemic hit early last year and was having trouble in getting access to fabrics and other materials due to the lockdown as supply shops were all closed. I started to just use anything I have or could find at home and realized how even more exciting it is to actually challenge myself like this: creating from nothing new, assembling broken pieces, reimagining the old. I never looked back ever since. And I realize that upcycling is a great, mindful way to practice fashion, and therefore decided to share more content about upcycling, hoping to encourage others to follow and be more aware about the values of sustainable fashion.
Sejujurnya saya lebih suka era blogging, di mana berbagi terasa lebih otentik dan asli. Dan kami para blogger tidak fokus pada “likes” dan “views“. Tapi juga merupakan fakta bahwa orang tidak membaca blog lagi saat ini, dan sebagai seniman / pencipta / pengusaha, kita perlu “mempromosikan” pekerjaan kita, jadi tidak ada banyak pilihan selain mengikuti perubahan platform.
Saya selalu menyukai fesyen sejak saya masih kecil. Tapi saya juga selalu ingin belajar menjahit dan membuat pakaian sendiri, dan baru punya kesempatan untuk belajar dan mulai melakukannya sekitar 2 tahun yang lalu. Ada kegembiraan dalam menciptakan sesuatu dari tangan Anda sendiri, mengetahui bahwa setiap detail kecil dibuat oleh Anda, tidak peduli dengan ketidaksempurnaan yang ada. Saya baru memulai upcycling ketika pandemi melanda awal tahun lalu dan mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses ke kain dan bahan lainnya karena lockdown, di mana toko-toko yang menyediakan persediaan tutup semua. Saya mulai berkarya menggunakan apa pun yang saya miliki atau apa pun yang dapat temukan di rumah. Saya menyadari betapa lebih menariknya untuk benar-benar menantang diri saya sendiri seperti ini: menciptakan sesuatu yang baru, merakit bagian-bagian yang rusak, menata kembali yang sudah lama. Saya tidak pernah melihat ke belakang sejak itu. Dan saya menyadari bahwa upcycling adalah cara yang bagus dan penuh perhatian untuk mempraktikkan fesyen, dan karena itu memutuskan untuk membagikan lebih banyak konten tentang upcycling, berharap dapat mendorong orang lain untuk mengikuti dan lebih sadar tentang nilai-nilai mode yang berkelanjutan.

M: Throughout the years, we can see how you have handled several kinds of projects. It includes your digital content on your blog, website, your ventures such as IWearUp, books, and now countless upcycling collaboration projects. Can you tell us which of these that makes you happy the most, and which one is the most challenging? And why?
Selama bertahun-tahun, kami dapat melihat bagaimana Anda telah menangani beragam proyek. Ini termasuk konten digital Anda di blog Anda, situs web, usaha Anda seperti IWearUp, buku, dan sekarang banyak proyek kolaborasi upcycling. Bisakah Anda memberi tahu kami mana yang paling membuat Anda bahagia, dan mana yang paling menantang? Dan mengapa?
D: Humans are multi-dimensional, we enjoy different things, and so I embrace all that. I love to design, take photos, write, create, sew, and fulfilling all that makes me happy. But I do think I enjoy sewing and writing the most. They’re like therapy, it heals and calms the mind.
Manusia adalah multi-dimensi, kita menikmati hal-hal yang berbeda, jadi saya merangkul semua itu. Saya suka mendesain, mengambil foto, menulis, membuat, menjahit, dan memenuhi semua yang membuat saya bahagia. Tapi saya rasa saya paling menikmati menjahit dan menulis. Mereka seperti terapi, menyembuhkan dan menenangkan pikiran.
M: Moving on to your passion in upcycling… have you thought about sustainability issues or circular fashion from the moment you started, or you started out of pure hobby in the first place? What is your honest opinion about this issue?
Beralih ke passion Anda dalam upcycling... apakah Anda sudah memikirkan isu keberlanjutan atau mode sirkular sejak Anda memulai pekerjaan ini, atau Anda memang memulainya murni dari hobi? Apa pendapat jujur Anda tentang masalah ini?
D: I started reading about the topic of sustainable fashion in 2018, watched plenty of documentaries on the impact of fast fashion towards our planet, and slowly accepted that “fast fashion” and buying too many clothes is harmful. As human beings, it’s important to keep up with what’s going on in the world, have a good moral compass and realize that the world does not revolve around just pretty things. We need to evolve as an individual and make better choices not just for us but for the planet, for our children.
In the fashion industry, there are still very few people who are aware of sustainability issues, hence why those who are already practicing sustainable values should advocate, inspire and move others to do so.
Saya mulai membaca tentang topik fesyen berkelanjutan pada tahun 2018, menonton banyak film dokumenter tentang dampak fast fashion terhadap planet kita, dan perlahan-lahan menerima bahwa “fast fashion” dan membeli terlalu banyak pakaian itu berbahaya. Sebagai manusia, penting untuk mengikuti apa yang terjadi di dunia, memiliki kompas moral yang baik dan menyadari bahwa dunia tidak hanya berputar di sekitar hal-hal yang indah. Kita perlu berkembang sebagai individu dan membuat pilihan yang lebih baik tidak hanya untuk kita tetapi untuk planet ini, untuk anak-anak kita.
Di industri fesyen, masih sangat sedikit orang yang sadar akan isu-isu keberlanjutan, oleh karena itu mereka yang sudah mempraktikkan nilai-nilai keberlanjutan harus mengadvokasi, menginspirasi, dan menggerakkan orang lain untuk melakukannya.


Salah satu karya upcycling Diana menggunakan boneka anak-anak dan jaket denim yang sudah tidak dipakai. (Foto: Dok. Diana Rikasari)
M: Knowing that you have a wardrobe of colors and forms, do you repeat your clothes often, or do you prefer to create new things again out of them after a few wears? What do you do with the clothes that you haven’t worn in a while—do you keep them or do you share them to others/sell them as a preloved item?
Mengetahui bahwa Anda memiliki lemari pakaian dengan beragam warna dan bentuk, apakah Anda sering menggunakan kembali pakaian Anda, atau apakah Anda lebih suka membuat hal-hal baru lagi setelah beberapa kali dipakai? Apa yang Anda lakukan dengan pakaian yang sudah lama tidak Anda pakai—apakah Anda menyimpannya atau membagikannya kepada orang lain/menjualnya sebagai barang preloved?
D: I’m definitely an outfit repeater. My wardrobe grows with me. I rarely “throw away” my clothes, sometimes I hand them down to my cousins or nieces. Nowadays, when I’m bored of my clothes, I upcycle them.
Saya adalah seseorang yang selalu menggunakan kembali pakaian-pakaian saya. Lemari pakaian saya tumbuh bersama saya. Saya jarang “membuang” pakaian saya, terkadang saya menyerahkannya kepada sepupu atau keponakan saya. Saat ini, ketika saya bosan dengan pakaian saya, saya mendayagunakannya ulang (upcycling).



Tiga dari rangkaian koleksi kolaborasi Diana Rikasari dengan merk ritel asal Amerika Serikat, Urban Outfitters. (Foto: Dok. Urban Outfitters, Diana Rikasari)
M: So far, you’ve done many collaborations with western fashion labels or companies. Now would you like to share to us which project is your favorite/most challenging one? Do you mind to tell us the story behind?
Sejauh ini, Anda sudah banyak melakukan kolaborasi dengan label atau perusahaan fashion barat. Bolehkah berbagi kepada kami proyek mana yang menjadi favorit/paling menantang Anda? Apakah Anda keberatan untuk memberi tahu kami kisah di baliknya?
D: My favorite is definitely the one with Urban Outfitters, because it forced me to push myself to greater limits. To produce 60 garments in 1 month all by myself was just crazy, but totally worth it. But all projects are exciting in different ways, for sure.
Favorit saya pasti yang dengan Urban Outfitters, karena itu memaksa saya untuk mendorong diri saya ke batas yang lebih besar. Memproduksi 60 pakaian dalam 1 bulan sendirian saja sudah gila, tapi hasilnya sangat sepadan. Meski begitu, semua proyek menarik dengan cara yang berbeda, pasti.
M: Out of those collaborations, we can see that it looks like the enthusiasm towards upcycled clothing are quite higher there in Europe. Do you think us back here in Indonesia can also light up the same level of enthusiasm? How do you think can we encourage the younger generation to have more interests in DIYs/upcycling on top of shopping for low prices in fast fashion labels?
Dari kolaborasi tersebut, terlihat bahwa antusiasme terhadap pakaian upcycled cukup tinggi di Eropa. Apakah Anda pikir kami di sini di Indonesia juga dapat menyalakan tingkat antusiasme yang sama? Menurut Anda, bagaimana kita dapat mendorong generasi muda untuk lebih tertarik pada DIY/upcycling selain berbelanja dengan harga murah di label mode cepat?
I’m not so sure, to be honest. The Indonesian market, in any industry or product category, is so much price-driven. Consumers are always attracted to low prices, promotions, discounts, free shipping, so it’s really hard to communicate important topics such as sustainable fashion when the ‘air’ is so cluttered with these gimmicks. For me, the key is to be consistent in educating the market. It will take a longer time, but we all start somewhere.
Saya tidak begitu yakin, jujur saja. Pasar Indonesia, dalam industri atau kategori produk apa pun, sangat didorong oleh harga. Konsumen selalu tertarik pada harga rendah, promosi, diskon, pengiriman gratis, sehingga sangat sulit untuk mengkomunikasikan topik penting seperti mode berkelanjutan ketika ‘angin’ begitu berantakan dengan tipu muslihat ini. Bagi saya, kuncinya adalah konsisten dalam mengedukasi pasar. Ini akan memakan waktu lebih lama, tetapi kita semua mulai di suatu tempat.



Berbagai potret Diana Rikasari mengenakan karya-karya upcyclingnya. (Foto: Dok. Diana Rikasari)
M: Do you have any tip for people who want to start to get into upcycling, but does not have any sewing or design background?
Apakah Anda memiliki tip untuk orang-orang yang ingin mulai terjun ke dunia upcycling, tetapi tidak memiliki latar belakang menjahit atau desain?
D: My advice is to be mindful. Upcycling is not an arts-&-crafts project, but an attempt to actually prolong the life of a piece of clothing. So when attempting to upcycle, ask ourselves, “am I really gonna wear this?”. From there, look around us, are there clothes at home we no longer wear? And start small. Perhaps make it shorter, add some colors, change the buttons. The possibilities are endless!
Saran saya adalah untuk mengerjakannya dengan sepenuh hati. Upcycling bukanlah proyek seni & kerajinan, tetapi upaya untuk benar-benar memperpanjang umur sepotong pakaian. Jadi ketika mencoba untuk melakukan upcycle, tanyakan pada diri kita sendiri, “apakah saya benar-benar akan memakai ini?”. Dari sana, lihat sekeliling kita, apakah ada pakaian di rumah yang sudah tidak kita pakai lagi? Dan mulai dari yang kecil. Mungkin membuatnya lebih pendek, menambahkan beberapa warna, mengubah kancing. Kemungkinannya banyak sekali!
M: Now it’s time for a little trivia: what do you like to do in your down time? What’s your favorite movie? What’s your favorite food and drink? What’s your favorite place in the world so far?
Sekarang saatnya untuk sedikit hal-hal di luar topik: apa yang suka Anda lakukan di waktu senggang Anda? Apa film favoritmu? Apa makanan dan minuman favoritmu? Apa tempat favorit Anda di dunia sejauh ini?
D: What do you like to do in your down time? Sleep. What’s your favorite movie? Wow. So many. I love Mad Max Fury Road, it’s so wild. What’s your favorite food and drink? Salmon sushi and bubble tea without milk. What’s your favorite place in the world so far? My room.
Apa yang kamu suka lakukan di waktu senggangmu? Tidur. Apa film favoritmu? Wow. Sangat banyak. Saya suka Mad Max Fury Road, sangat liar. Apa makanan dan minuman favoritmu? Sushi salmon dan bubble tea tanpa susu. Apa tempat favorit Anda di dunia sejauh ini? Kamarku.


Hasil pendayagunaan ulang sebuah jaket menjadi sepasang jaket cropped dan rok mini. (Foto: Dok. Diana Rikasari)
M: What is your next goal or hope for Diana Rikasari? What are your top 5 bucket list that you want to achieve in the next 10 years (or more)?
Apa tujuan atau harapan Anda selanjutnya untuk Diana Rikasari? Apa daftar 5 bucket list Anda yang ingin Anda capai dalam 10 tahun ke depan (atau lebih)?
D: Just keep creating with heart, with good intentions, explore different mediums, keep learning new skills, learn how to crochet, probably make stuff with my daughter when she’s bigger.
Terus berkreasi dengan hati, dengan niat baik, eksplorasi beragam media, terus pelajari keterampilan baru, pelajari cara merenda, mungkin membuat sesuatu dengan putri saya ketika dia sudah besar nanti.
M: This is the last question and I hope you don’t mind answering it – do you have any tips or ideas so that The Textile Map can also be an agent of change in terms of textile sustainability and ethical consumption in Indonesia – or do you have any opinions about or contents/anything that we can improve?
Ini adalah pertanyaan terakhir dan saya harap Anda tidak keberatan menjawabnya – apakah Anda punya tips atau ide agar The Textile Map juga bisa menjadi agen perubahan dalam hal keberlanjutan tekstil dan konsumsi etis di Indonesia – atau apakah Anda punya pendapat tentang atau isi/apa saja yang bisa kami perbaiki?
D: Keep it up, keep voicing out important issues, collaborate with many other platforms and people who share the same values.
Pertahankan, terus suarakan isu-isu penting, berkolaborasilah dengan banyak platform lain dan orang-orang yang memiliki nilai yang sama.
Terima kasih kepada Diana Rikasari atas waktunya menjawab pertanyaan-pertanyaan dari The Textile Map! Ketahui lebih lanjut mengenai Diana Rikasari dengan mengunjungi akun Instagramnya, @dianarikasari.
Penulis: Mega Saffira & Tirza Kanya | Editor: Mega Saffira | Penerjemah: Tirza Kanya | Sumber: Wawancara eksklusif The Textile Map | Foto: Dok. Diana Rikasari


