Saput Poleng: Kain Lambang Keseimbangan Asal Bali 

 

Kain Saput Poleng asal Bali, Indonesia
Penggunaan Saput Poleng pada patung di Bali.
(Foto: Binus University International)

Mengenal Saput Poleng Asal Bali
Gunung-gunung luhung, limpahan bentangan sawah dengan pangkal kelapa, hingga pesisir berjantang merupakan sejumlah keelokan alam milik Bali. Selain itu, pada tiap seluk-beluk kawasan yang dijuluki Pulau Dewata ini tersemat salah satu warisan budaya yang telah ada sejak zaman purbakala. Ialah kain poleng; wastra tradisional yang penuh makna. 

Kain poleng, atau kerap pula dikenal dengan sebutan saput poleng adalah kerajinan khas Bali. Kata ‘poleng’ sendiri diambil dari Bahasa Bali, mengacu pada pola kotak-kotak serupa papan catur yang menyusun tekstil tersebut, sedangkan ‘saput’ berarti membalut, selaras dengan kegunaannya untuk dililitkan terhadap barang ataupun orang. 

Corak Sederhana yang Kaya Akan Filosofi

Kain Saput Poleng asal Bali, Indonesia

Kain poleng (Foto: Dok. Anandajoti/CC BY-SA

Hingga saat ini, eksistensi motif poleng masih dijunjung oleh masyarakat Bali lantaran nilai filosofis yang terkandung. Warna putih dan hitam dalam corak menyiratkan konsepsi rwa bhineda: suatu pandangan akan dualitas. Terdiri dari kata ‘rwa‘ yang bermakna dua, lalu ‘bhineda‘ bermaksud ‘perbedaan’, melambangkan situasi yang bertolak belakang. Rona putih sebagai simbol cahaya, kebajikan, serta segala hal-hal baik; berbanding terbalik dengan rona hitam selaku tanda kegelapan, kejelekan, juga perihal buruk. 

Pemikiran rwa bhineda mengajarkan bahwa pertentangan atau paradoks harus hadir – secara berdampingan – dalam dunia ini, agar keseimbangan dapat tercipta. Bahwasanya segala sesuatu memiliki oposisi yang tidak hanya berkorelasi, tetapi demi keberadaan satu sama lain sekaligus diperlukan. Kait kelindan antar dua hal begitu erat; eksistensi yang satu tidak mampu ada tanpa kehadiran pasangannya. 

Seumpama tanpa kegelapan, pengertian mengenai cahaya tidak dapat didefinisikan. Pemahaman tentang terang dimungkinkan sebab munculnya gulita: kondisi nircahaya. Ide terkait sinar akan kehilangan maknanya jika tiada kelam. Begitu pula dengan ihwal lainnya: untuk setiap kebaikan, ada kejahatan; untuk setiap kekuatan, ada kelemahan; dan untuk setiap kebahagiaan, ada pula kesedihan. Layaknya peribahasa ’dua sisi dari keping uang yang sama’, serangkap benda mungkin tampak berbeda, lamun sesungguhnya membentuk satu keutuhan yang sama. 

Tatanan yang harmonis akan terwujud ketika elemen-elemen tersebut saling melengkapi dan bekerja secara berdampingan. Gangguan muncul ketika satu bagian mulai mendominasi bagian lainnya. Itulah mengapa ketika dihitung, pola persegi berwarna hitam dan putih mempunyai jumlah yang setara pada kain poleng. Merujuk pada konsep rwa bhineda – sebagai pengingat bahwa meski pertentangan tidak dapat dihindari, penerimaan bersama keselarasannya akan melahirkan kesetimbangan dalam kehidupan. 

Ragam Kain Poleng 

Kain Saput Poleng asal Bali, Indonesia
Kain poleng rwa bhineda (atas) dan sudhamala (bawah).
(Foto: Dok. Akhyari Hananto)

Secara umum, kain poleng ragam rwa bhineda yang berwarna hitam-putih memang paling lumrah dijumpai. Namun, disamping bentuk monokrom masih terdapat variasi lainnya, yakni: saput poleng sudhamala beserta saput poleng tridatu

Pada bentangan sudhamala, ditemukan 3 macam rona, yaitu: hitam, putih disertai abu-abu. Warna kelabu berperan laksana campuran serempak penengah dari desain rwa bhineda. Kebajikan juga menjadi salah satu atribut yang disematkan pada poleng sudhamala. Pasalnya, pemakai kain ini diharapkan bisa menerapkan pedoman dharma, memilah antara hitam dengan putih; yang baik dengan yang buruk. 

Kain Saput Poleng asal Bali, Indonesia
Variasi kain poleng sudhamala (atas) dan tridatu (bawah)
(Foto: Dok. Anandajoti/CC BY-SA

Di sisi lain, poleng tridatu pun terbentuk atas 3 urna (campuran suatu warna dengan putih), hanya saja dengan selingan yang berbeda, antara lain: hitam, putih, bersama merah. Tabiat dasar manusia yang terkandung dalam ajaran triguna divisualisasikan melalui ketiga warna tersebut. Hitam dimaksudkan sebagai atribut stabilitas, putih selaku kemurnian serta kedamaian, lalu merah seperti karakter energik. Representasi Dewa Tri Murti juga dilambangkan oleh warna hitam serupa pemeliharaan Dewa Wisnu, putih tanda peleburan Dewa Siwa, juga merah markah penciptaan Dewa Brahma. Apabila dihubungkan, siklus hayat: kelahiran, kehidupan, dan kematian akan terlihat. 

Menengok Cara Pembuatan Kain Poleng 

Proses produksi kain poleng dapat dilakukan secara handmade (buatan tangan) maupun memanfaatkan bantuan mesin. Secara tradisi, kain poleng dikerjakan secara manual dengan mengaplikasikan teknik tenun. Menggunakan alat tenun, benang yang sudah dipersiapkan akan mulai dikerjakan oleh sang pengrajin. Penenun akan menyusun benang secara jeli; dengan saksama bergantian menyusun untaian hitam dan putih hingga akhirnya memunculkan pola bujur sangkar yang terkenal. 

Tingkat keterampilan yang tinggi serta durasi panjang menjadi salah satu tuntutan keberhasilan metode ini. Digarap memakai tangan seutuhnya, diperkirakan bahwa setidaknya waktu 1 bulan diperlukan untuk menyelesaikan sebentang kain poleng. Berkat keotentikannya, wajar saja bila tipe ini dinilai lebih berharga dibanding kain bercorak serupa yang dibuat oleh mesin. 

Di lain pihak, pabrikasi kain poleng dalam kuantitas besar memungkinkan produksi massal yang membawa keuntungan tersendiri. Faktor kecepatan berbarengan modal lebih kecil menjadikan kain ini memiliki harga terjangkau sehingga dapat diakses oleh berbagai kalangan. Ditujukan untuk memenuhi kebutuhan komersil, variasi ini sering ditemui pada cenderamata, ornamen, ataupun benda-benda umum lainnya. 

Bahan dasar kain poleng berbagai macam, mulai dari tenun serat tradisional, katun, tetoron cotton (campuran poliester dan katun), hingga sutra. Biasanya dijual dalam bentuk gulungan dengan aneka ukuran. Bentuk persegi yang membangun motif poleng pada umumnya mengikuti patokan berikut: ukuran kecil 1 x 1 cm, sedang 3 x 3 cm, sampai kotak terbesar berukuran 5 x 5 cm. 

Di tempat-tempat penjualan, lazim didapati tepian kain yang dibiarkan tidak terjahit maupun yang sudah diobras. Penutupan bagian pinggir ditujukan agar tekstil tidak mudah terurai. Penambahan kain hiasan pada salah satu bagian lis juga dapat dilakukan untuk menambah sentuhan aksen, membuat garmen menjadi lebih menarik. 

Kegunaan Kain Poleng 

Kain Saput Poleng asal Bali, Indonesia
Saput poleng dikenakan oleh sekelompok remaja (Foto oleh Herryz/CC BY-SA

Penggunaan kain poleng sering dijumpai pada objek-objek yang dianggap keramat semacam arca dwarapala (patung penjaga gerbang), pelinggih (tempat pemujaan), pepohonan tertentu – pun ada kalanya dikenakan oleh masyarakat Bali sebagai sarung atau bawahan. 

Di wilayah pemukiman warga, adakalanya kain poleng dililitkan pada pelinggih beranda rumah-rumah. Sebab, selain berfungsi sebagai lambang rwa bhineda, kain poleng juga dipercaya dapat memberi penghuninya perlindungan terhadap skala (alam terlihat), maupun niskala (alam tidak terlihat). Kain tersebut berperan selaku penunggun karang, mencegah terjadinya kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Konon, jika ada orang yang bermaksud jahat maka penunggun karang akan memperlihatkan sosoknya dalam wujud yang seram, mengusir orang tersebut. Lalu jika ada daya-daya buruk yang masuk, penunggun karang dapat menangkal dan menetralisirnya. 

Mengikuti perubahan waktu, pemanfaatan kain poleng meluas. Kini, tidak hanya objek-objek penting saja yang dibalut saput poleng, namun penggunaannya mulai merambat ke benda sehari-hari, seperti aksesori, hiasan rumah, ataupun dekorasi interior hotel untuk memberi nuansa identitas khas Bali. Cenderamata dengan motif poleng juga menjadi oleh-oleh populer yang dibeli oleh wisatawan. Walaupun begitu, meski pemakaiannya sekarang tak lagi khusus, kain poleng tetap menjadi salah satu wastra sekaligus tradisi asal Bali yang berharga. 

Penulis: Gita Maharsi | Editor: Mega Saffira

Sumber: Etnis.id | Jurnal Folklor-Edebiyat | NOW! Bali | Jurnal Seni Rupa dan Desain | GNFI

Leave a comment