Melihat Keindahan Batik Pesisiran Pantai Utara Jawa dan Kebaya Peranakan bersama Himpunan Wastraprema dan Didi Budiardjo

Melihat Keindahan Batik Pesisiran Pantai Utara Jawa dan Kebaya Peranakan bersama Himpunan Wastraprema dan Didi Budiardjo
Kiri-kanan: Bapak Benny Gratha, Ibu Neneng Iskandar, dan Didi Budiardjo.
(Foto: Dok. The Textile Map)

Tentang Himpunan Wastraprema

Pada hari Sabtu, 15 Februari 2025 lalu, Museum Tekstil yang berlokasi di Jakarta Barat, dihadiri oleh sekumpulan orang dengan pakaian bernuansa batik dan kebaya. Mereka adalah peserta dari kegiatan yang diadakan oleh Himpunan Wastraprema. Himpunan Wastraprema merupakan sebuah himpunan pecinta kain adat Indonesia yang turut berperan penting dalam pendirian dan peresmian Museum Tekstil pada tahun 1976 bersama Ibu Tien Soeharto dan Bapak Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta kala itu.

Kegiatan yang diadakan hari itu bertajuk ‘Bincang-bincang Batik Pesisiran Pantai Utara Jawa dan Kebaya Peranakan’, dengan tiga orang narasumber yang dikenal sebagai pakar di bidang wastra Indonesia. Yakni, Sri Sintasari Iskandar yang akrab dipanggil Ibu Neneng, selaku ketua Himpunan Wastraprema; Didi Budiardjo; desainer mode kawakan Indonesia; dan Benny Gratha, kurator seni yang telah menulis banyak buku mengenai tekstil Indonesia. 

Dalam diskusi ini, Neneng Iskandar, Didi Budiardjo, dan Benny Gratha mengupas secara spesifik sejarah dan kekhasan dari batik pesisiran dan juga kebaya peranakan yang identik dengan pengaruh budaya Eropa dan Tionghoa. Diadakannya kegiatan ini pun selaras dengan adanya pameran batik pesisiran yang dibuat sejak sekitar tahun 1900-an di Museum Tekstil, di mana koleksi tersebut merupakan sumbangan dari Ibu Eiko Adnan (Almh). 

Sejarah Batik Pesisiran Pantai Utara Jawa

Melihat Keindahan Batik Pesisiran Pantai Utara Jawa dan Kebaya Peranakan bersama Himpunan Wastraprema dan Didi Budiardjo
Ibu Neneng Iskandar menjelaskan setiap detil dari karakteristik batik pesisiran Pantai Utara Jawa. (Foto: Dok. The Textile Map)

Setelah diawali dengan sambutan oleh Neneng Iskandar dan Sri Kusumawati, Kepala Dinas Unit Pengelola Museum Seni, diskusi diawali dengan penjelasan mengenai kekhasan batik pesisiran dibandingkan dengan batik keraton. Batik keraton dengan karakteristik warna yang cenderung didominasi warna gelap, terkenal sarat akan makna filosofis juga kaidah aristokrasi atau aturan keistanaan. Sementara itu, batik pesisiran memiliki corak dan warna yang lebih bebas dan bervariasi, yang disebabkan oleh adanya interaksi yang terjadi antara penduduk lokal dan para pendatang dari Cina, India, Arab, Eropa, juga Madura dan Sumatera, serta daerah lainnya yang dilalui oleh jalur perdagangan laut.

Pengaruh akulturasi budaya ini khususnya tampak pada ragam motif batik pesisiran yang melibatkan bentuk-bentuk yang merupakan elemen dari benda-benda yang masuk ke Indonesia melalui perdagangan, seperti keramik-keramik Cina, juga kain-kain dari India dan Eropa.

Keunikan Batik Pesisiran dari berbagai Daerah

Setelah sejarah dan karakteristik batik pesisiran secara umum, berikutnya diceritakan juga mengenai batik pesisiran dari beberapa daerah, yakni Cirebon, Pekalongan, Lasem, Indramayu, dan Banyumas. Contoh kain batik dari masing-masing daerah pun ikut diperlihatkan, di mana para peserta yang terdiri dari pelajar-pelajar dan dosen dari sekolah-sekolah mode tersebut pun diizinkan untuk melihat dan menyentuh dari dekat. Keunikan masing-masing daerah diceritakan secara mendetil, contohnya Batik yang Cirebon dikenal memiliki pengaruh dari budaya Cina yang kuat dan memiliki salah satu teknik yang memiliki tingkat kesulitan tinggi, merawit, yaitu proses pemberian malam (lilin) dalam bentuk garis-garis halus yang menyerupai rambut, juga kekhasan warna merah pada Batik Lasem yang dikenal dengan sebutan getih pitik (darah ayam).

Perkembangan Kebaya Peranakan dari Masa ke Masa

Melihat Keindahan Batik Pesisiran Pantai Utara Jawa dan Kebaya Peranakan bersama Himpunan Wastraprema dan Didi Budiardjo
Didi Budiardjo (kanan) memaparkan sejarah dan perkembangan kebaya peranakan
di Indonesia. (Foto: Dok. The Textile Map)

Diskusi kemudian dilanjutkan dengan pemaparan mengenai sejarah kebaya peranakan oleh desainer Didi Budiardjo. Sambil menunjukkan contoh kebaya peranakan juga foto-foto arsip pemakaian kebaya di masa lalu, Didi menjelaskan bahwa kebaya peranakan memiliki kaitan yang erat dengan budaya Tionghoa di Indonesia, dan bahwa gaya kebaya peranakan kerap berkembang seiring perubahan fenomena sosial dari waktu ke waktu. 

Contohnya, pada abad ke-17, kebaya encim memiliki bentuk menyerupai baju panjang dengan pakaian lapisan dalam, yang dikenakan dengan bros karena belum tersedianya kancing ataupun kait pada kala itu. Kemudian, disebabkan oleh perubahan persepsi pada generasi yang lebih muda, siluet kebaya encim pun berkembang menjadi semakin membentuk tubuh dengan tambahan kupnat dan penggunaan kamisol sebagai dalaman.

Diceritakan juga bahwa kebaya peranakan turut memiliki makna simbolis yang menggambarkan tingkat ekonomi dan latar belakang keluarga pemakainya pada zaman itu, misalnya, kebaya dengan sulaman bordir yang semakin halus dan rumit mencerminkan pemakainya berasal dari keluarga yang berada, serta penggunaan kebaya berwarna putih yang menandakan latar belakang keluarga yang baik atau terpandang bila dibandingkan dengan kebaya berwarna mencolok.

Tak hanya itu, dalam budaya Tionghoa, pemilihan warna kebaya dan kain batik pun memiliki aturan tertentu, seperti pelarangan penggunaan warna merah pada suasana berduka, dan sebaliknya, pelarangan penggunaan warna kebaya putih dengan kain bernuansa biru pada suasana perayaan. Meski demikian, dalam budaya Eropa, peraturan-peraturan seperti itu tidaklah berlaku. 

Pentingnya Pelestarian Batik dan Kebaya

Bincang-bincang pun berlangsung selama hampir dua jam. Ibu Neneng kemudian mengakhiri diskusi dengan menggarisbawahi pentingnya untuk melihat batik sebagai warisan budaya yang terus berkembang, dan bahwa adanya regenerasi dalam profesi membatik merupakan hal yang harus terus digalakkan. Beliau menyayangkan masih adanya stigma di tengah masyarakat Indonesia untuk menawar harga batik asli, khususnya batik tulis yang membutuhkan keahlian yang tinggi dalam pembuatannya, sementara mereka mampu tidak ragu dalam membeli barang impor dengan harga yang jauh lebih tinggi. 

Pesan Neneng Iskandar untuk Generasi Muda Indonesia

Di akhir acara, tim The Textile Map berkesempatan untuk berbincang-bincang secara singkat dengan Ibu Neneng, dan meminta pesan-pesan dari beliau untuk anak muda Indonesia terkait kain tradisional. Berikut ini respon Ibu Neneng:

“Saya ingin sekali bahwa dengan diadakan acara seperti ini, visi dan misi kita bisa sampai ke generasi penerus. Kalo enggak begini, siapa sih yang mau meneruskan, kalau bukan kalian (generasi muda)? Memakai kain itu enggak sulit. Dan karena ini adalah busana kita, busana nasional, busana milik bangsa, maka memakainya pun  tidak bisa sembarangan. Saya tidak anti dengan modernisasi, tapi gunakanlah kain dengan pada tempatnya, khususnya pada acara yang sakral seperti perkawinan. Menggunakan kain sesuai pada tempatnya akan menunjukkan bagaimana kita menghargai kain yang dibuat dengan susah payah oleh setiap pengrajinnya. Kalau bukan kita sendiri, siapa lagi?”

Selepas penutupan acara, para peserta punmengeksplorasi pameran yang diadakan di Museum Tekstil. Kegiatan ini pada akhirnya tidak hanya memperluas wawasan mengenai batik pesisiran dan kebaya peranakan, tapi juga mempertemukan para pemerhati dan peminat kain tradisional Indonesia khususnya batik, dengan para mahasiswa dan akademisi yang merupakan representatif dari generasi penerus pelestarian wastra sebagai warisan budaya Indonesia. Dengan terus adanya wadah edukatif seperti ini, semoga batik dan wastra Indonesia lainnya dapat terus dilestarikan dan diapresiasi, tak hanya sebagai artefak penuh sejarah, tapi sebagai kebutuhan yang terus relevan dalam keseharian kita dan juga menjadi simbol identitas bangsa Indonesia. 

Penulis & Penyunting: Mega Saffira | Foto: Dokumentasi The Textile Map.

Leave a comment