Kain Kebat: Tradisi Tenun Ikat dari Kalimantan Barat

Jupe kain kebat, Iban, Sarawak, Bornéo, Indonésie, XIXème siècle | Iban kain  kebat skirt, Sarawak, Borneo, Indonesia, XIXth century | INDONESIA | 2021 |  Sotheby's

Kain Kebat: Tradisi Tenun Ikat dari Kalimantan Barat
Kain kebat, tenun tradisional suku Dayak Iban
(Foto: Dok. Sotheby’s)

Selain pesona alamnya, Indonesia juga dikenal luas akan kekayaan budaya yang menjadi identitas bangsa. Salah satu kelompok etnis dengan warisan budaya yang kaya adalah Suku Dayak Iban di Kalimantan Barat. Mereka dikenal melalui rumah panjang, seni ukir, senjata tradisional, pakaian adat, serta berbagai ritual yang sarat makna. Salah satu warisan wastra yang khas adalah kain kebat, tenun ikat yang dibuat oleh para perempuan Iban.

Kehidupan dan Nilai Masyarakat Iban

Kain Kebat: Tradisi Tenun Ikat dari Kalimantan Barat
Gadis Dayak Iban menampilkan tarian penyambutan di Kalimantan Barat. (Foto: Dok. Borndeo2018)

Masyarakat Iban merupakan salah satu sub suku Dayak yang mendiami wilayah Kalimantan. Masyarakat Iban banyak dijumpai di Kalimantan Barat, terutama di Kabupaten Kapuas Hulu dan Sintang. Selain itu, mereka juga tersebar di wilayah Sarawak, Malaysia, karena kedekatan geografis antara kedua daerah tersebut. Pada masa lalu, sebagian orang Iban bermigrasi ke Sarawak. Namun, ada pula yang kembali ke Kalimantan Barat untuk menghindari tekanan dari pemerintah kolonial Inggris.

Orang Iban memiliki sistem nilai yang berorientasi pada prestasi. Setiap individu diberi ruang untuk menunjukkan kemampuan dan keistimewaan mereka. Bagi laki-laki, prestasi biasanya ditunjukkan melalui tindakan keberanian, seperti merantau ke wilayah perbatasan atau luar negeri demi mencari nama dan keberuntungan. Sementara itu, perempuan Iban menunjukkan prestasi melalui kreativitas, terutama dalam bidang kerajinan seperti menenun.

Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan Iban memegang peran penting dalam menjaga keluarga. Selain mengurus rumah tangga dan merawat anggota keluarga, mereka juga bekerja di ladang. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah dan pertanian, para perempuan akan menenun kain dari kapas yang mereka tanam sendiri. Mereka juga mengumpulkan bahan-bahan lain untuk membuat tikar, keranjang, dan kain tenun, termasuk salah satunya kain kebat.

Bagi perempuan, kemampuan menenun bukan hanya keterampilan, tetapi juga sarana untuk mendapatkan status dan kehormatan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, keterampilan ini diwariskan secara turun-temurun dari ibu kepada anak perempuannya. Anak perempuan Iban biasanya mulai belajar menenun sejak usia sekitar belasan tahun. Mereka akan melalui proses belajar yang bertahap, dimulai dari mengolah kapas, memintal dan mewarnai benang, hingga memilih motif dan menenunnya menjadi kain. Seiring bertambahnya usia, mereka juga belajar ritual-ritual tertentu yang mempererat hubungan spiritual dengan leluhur melalui kegiatan menenun. 

Pengenalan Kain Kebat 

Kain kebat menjadi salah satu pakaian mewah yang biasa digunakan saat diadakan upacara-upacara kebesaran

Kain Kebat: Tradisi Tenun Ikat dari Kalimantan Barat
Ragam corak kain kebat (Foto: Dok. Indonesia Kaya)

Kain kebat adalah salah satu warisan budaya dari suku Dayak Iban. Kain ini merupakan wastra tradisional yang sarat nilai sejarah, budaya, dan spiritual. Kain kebat biasanya dibuat dengan teknik tenun tangan yang rumit. Prosesnya melibatkan penggabungan benang-benang halus secara manual, dan pada beberapa varian, bahkan menggunakan benang emas atau perak untuk menghasilkan pola-pola yang detail dan indah. Teknik ini diwariskan secara turun-temurun oleh para perempuan Dayak, dan dipelajari sejak usia muda.

Dalam kehidupan masyarakat Dayak, kain kebat memiliki makna simbolis, dianggap sebagai lambang kehormatan, keberuntungan, dan kesejahteraan. Oleh karena itu, kain ini selalu hadir dalam berbagai acara penting seperti acara adat, kegiatan keagamaan, prosesi pernikahan, dan kegiatan budaya lainnya. Dalam penggunaannya, kain kebat sering dipakai sebagai kain, terutama oleh perempuan.

Motif dan corak pada kain kebat sangat beragam dan penuh makna. Biasanya, motif-motif ini terinspirasi dari alam, seperti tumbuhan, hewan, burung, dan bentuk-bentuk geometris. Beberapa motif juga mengandung unsur spiritual yang melambangkan hubungan antara manusia, alam semesta, dan dunia roh. Uniknya, berbeda dengan kebanyakan kain tradisional Indonesia yang berpola simetris, kain kebat sering kali menampilkan pola asimetris.

Beberapa motif khas dalam kain kebat antara lain motif encerebung, yang terletak di ujung kain dan berbentuk seperti tunas bambu. Motif ini biasanya mengapit motif utama yang berada di tengah kain. Ada juga motif langgai uwi, yaitu motif tanaman merambat yang dulu digunakan oleh leluhur untuk mengikat tiang rumah agar kokoh. Motif-motif ini tidak hanya memperindah kain, tapi juga menyampaikan pesan moral tentang kekuatan, ketahanan, dan nilai kehidupan.

Menenun Kain Kebat

Kain Kebat: Tradisi Tenun Ikat dari Kalimantan Barat
Proses penenunan kain kebat. (Foto: Dok. Indonesia Fashion Week)

Secara tradisional, kain kebat dibuat melalui proses tenun tangan. Sebelum ditenun, benang-benang terlebih dahulu diwarnai menggunakan pewarna alami yang diperoleh dari tumbuhan sekitar. Setelah itu, benang-benang disusun dengan cermat untuk membentuk corak dan motif khas. Proses ini dilakukan secara bertahap, membutuhkan kesabaran serta keahlian. Anak perempuan biasanya mulai dari motif-motif yang sederhana, kemudian secara bertahap mempelajari pola-pola yang lebih kompleks.

Pengetahuan dan keterampilan menenun ini diwariskan secara turun-temurun melalui lisan, dari ibu kepada anak, dan dari generasi ke generasi. Bahkan dalam tradisi Dayak Iban, dipercaya bahwa kemampuan menenun ini adalah anugerah dari dewa-dewi atau roh leluhur, yang sering hadir dalam mimpi dan memberikan petunjuk. Karena itu, kain tenun kebat tidak hanya dilihat sebagai benda pakai, tapi juga dianggap sebagai warisan budaya yang sakral. Penentuan desain motif dan warna tidak boleh dilakukan sembarangan. Masyarakat Dayak Iban meyakini bahwa setiap motif harus memperoleh izin secara spiritual, biasanya melalui mimpi, sebagai tanda bahwa mereka diizinkan untuk menenun pola tersebut.

Tantangan Pelestarian Kain Kebat

Kain Kebat: Tradisi Tenun Ikat dari Kalimantan Barat
Motif kain kebat dari dekat (Foto: Dok. Dharmawangsa Art / Oemah Etnik)

Salah satu permasalahan utama yang dihadapi masyarakat Dayak Iban saat ini adalah semakin langkanya ahli tenun. Sebagian besar penenun yang masih aktif merupakan perempuan lanjut usia. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran besar, karena keahlian mereka terancam tidak dapat diteruskan ke generasi muda. Lebih lanjut, proses pewarisan keterampilan menenun di kalangan masyarakat Dayak Iban hingga kini masih dilakukan secara lisan dan autodidak. Artinya, tidak ada sistem pembelajaran yang terstruktur. Akibatnya, muncul potensi perbedaan dalam cara persiapan, teknik, dan proses menenun.

Kekhawatiran lain yang dirasakan adalah jika di masa mendatang generasi muda tidak lagi memiliki pemahaman yang utuh mengenai filosofi dan nilai-nilai yang melekat dalam tradisi menenun. Tanpa pemahaman tersebut, ada kekhawatiran bahwa mereka akan beralih menggunakan pewarna buatan atau berbahan kimia, yang berpotensi merusak ekosistem alam di sekitar, mengingat selama ini masyarakat Iban hanya menggunakan pewarna alami yang bersumber dari tumbuhan. Sayangnya, literatur dan dokumentasi tentang tenun Iban masih terbatas, sehingga pengetahuan mengenai tenun kebat sulit diakses. Jika kondisi ini terus berlanjut, dikhawatirkan bukan hanya teknik menenunnya yang akan hilang, tetapi juga ritual-ritual dalam pembuatan kain kebat akan terlupakan.

Kain kebat merupakan bagian penting dari warisan budaya Suku Dayak Iban yang mencerminkan identitas dan tradisi mereka. Namun, dengan semakin sedikitnya penenun yang menguasai keterampilan ini, serta terbatasnya dokumentasi tentang proses dan filosofi di balik tenun kebat, ada risiko bahwa pengetahuan ini akan hilang. Oleh karena itu, penting untuk memastikan keberlanjutan tradisi ini melalui upaya pelestarian, yang meliputi pendidikan, dokumentasi, dan pengenalan kepada generasi mendatang.

Penulis: Gita Maharsi | Penyunting: Mega Saffira

Sumber: Indonesia Kaya | Indonesia Fashion Week | The Met | Jurnal Visualita | Prima Abdika: Jurnal Pengabdian Masyarakat | Kompas | Kompas 

Leave a comment