Tenun Gringsing: kain tenun ikat ganda dari Desa Tenganan, Bali

Kain Tenun Gringsing dari Desa Tenganan, Karangasem, Bali. Foto oleh Murni Ridha. (Sumber: Medium)

Termasuk sebagai salah satu dari tiga desa yang berstatus Bali Aga, Desa Tenganan, Karangasem, Bali, dikenal dengan gaya hidup mereka yang masih berpedoman pada hukum adat, yang disebut dengan awig-awig, yang kental dengan nilai-nilai religius hindu. Salah satu perwujudan dari nilai-nilai tersebut dapat dilihat melalui kain tradisional mereka, Tenun Gringsing, yang kerap digunakan oleh masyarakat Bali, khususnya di Desa Tenganan, ketika mengikuti upacara-upacara adat, keagamaan, atau kebudayaan Bali. Secara harfiah, Tenun Gringsing berasal dari kata “gring” yang berarti “sakit” dan “sing” yang berarti “tidak” sehingga masyarakat setempat mempercayai bahwa kain ini memiliki kemampuan magis untuk melindungi pemakainya dari penyakit.

Seorang pedagang berbagai macam kain tenun memperkenalkan salah satu kain tenun Gringsing dagangannya.
(Sumber: Nusa Bali)

Tenun Gringsing dikenal sebagai salah satu kain termahal di Indonesia dimana harga selembar kainnya dimulai dari Rp 700.000 ribu hingga Rp 16.000.000. Tingginya harga Tenun Gringsing dikarenakan proses pembuatannya yang membutuhkan waktu minimal dua tahun dan seluruhnya dilakukan dengan tangan. Menurut legenda, Tenun Gringsing merupakan peninggalan Dewa Indra, dewa pelindung manusia dalam agama hindu, yang sedang mengamati langit malam. Terkagum dengan keindahan bulan dan bintang, lahirlah Tenun Gringsing yang gelap layaknya langit di malam hari. 

Proses pengikatan benang yang akan ditenun sebelum proses pewarnaan. (Sumber: Detik)

Benang yang digunakan pada kain ini berasal dari gilasan kapas yang diperoleh dari kapuk berbiji satu yang hanya terdapat pada Pulau Nusa Penida.  Kapas yang telah digilas akan dipintal menggunakan alat pemintal tradisional yang menyerupai kincir kayu yang harus diputar oleh tangan. Benang-benang yang telah dipintal kemudian akan melalui tiga proses pewarnaan untuk mendapat warna kuning (berasal dari minyak kemiri), warna merah (berasal dari akar kulit kayu mengkudu), dan warna hitam (berasal dari daun pohon taum). Pertama, benang akan direndam dalam campuran minyak kemiri dan abu dapur selama kurang lebih 40 hari hingga maksimal satu tahun, lamanya durasi perendaman akan menentukan tingkat kekuatan dan kelembutan benang yang dihasilkan. Kemiri yang digunakan tidak boleh dipetik dari pohonnya. Selain untuk menaati aturan adat, kemiri yang jatuh dari pohon dengan sendirinya memiliki tingkat kematangan yang lebih baik sehingga warna yang dihasilkan pun lebih terang. Hal ini juga berperan dalam menjaga keseimbangan alam.

Kumpulan gulungan kain yang sudah dicelup pewarna dan dibuka ikatannya, siap dipasangkan kepada alat tenun. Foto oleh Murni Ridha. (Sumber: Medium)

Benang yang telah melalui proses pewarnaan pertama kemudian akan dililitkan pada sebuah alat kayu berbentuk persegi untuk disusun sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Setelah disusun, benang akan diikat hingga membentuk sebuah pola dengan membaginya menjadi tiga bagian yaitu, ikatan dengan tali rafia biru untuk menandakan benang yang akan diwarnai hitam, tali rafia merah untuk menandakan benang yang akan diwarnai merah, dan tali rafia putih untuk menandakan benang yang akan tetap mempertahankan warna kuningnya. Proses pewarnaan kedua dilakukan untuk mendapatkan warna hitam. Benang yang telah diikat, akan direndam pada campuran daun pohon taum 12-15 hari. Setelah dikeringkan, ikatan tali rafia merah dilepas kemudian benang tersebut akan direndam kembali pada campuran akar kulit kayu mengkudu untuk mendapat warna merah selama kurang lebih 15 hari. Sebelum ditenun menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) jenis cag-cag, benang-benang tersebut akan direndam dalam air beras selama seminggu agar warna tetap awet.

Proses penenunan kain tenun Gringsing menggunakan alat tenun cag-cag. Foto oleh Murni Ridha. (Sumber: Medium)

Tenun Gringsing menggunakan teknik ikat ganda, di mana motif ikat tidak hanya dibentuk pada barisan benang lusi seperti tenun ikat pada umumnya, namun juga pada benang pakan. Tenun ikat ganda diketahui hanya terdapat di dua tempat lain di dunia, yakni Jepang dan India, sehingga keberadaan Tenun Gringsing dapat dikatakan langka. Berdasarkan sebuah buku berjudul Clothing, Ritual and Society in Tenganan Pegeringsingan Bali oleh Urs Ramseyer (1984), masyarakat Desa Tenganan awalnya merupakan sekelompok imigran India penganut Dewa Indra. Para imigran ini kemudian mengembangan teknik ikat ganda melalui motif-motif  tradisional Indonesia. Pada buku yang sama, dikatakan bahwa terdapat sekitar 20 motif pada Tenun Gringsing. Namun, kini hanya tujuh diantaranya yang digunakan.

  1. Batun Tuung
    Digambarkan sebagai biji terong yang digunakan pada selendang perempuan dan ikat pinggang laki-laki.
  2. Cecempakaan
    Digambarkan sebagai bunga cempaka yang digunakan pada pakaian adat dan kegiatan keagamaan. 
  3. Cemplong
    Digambarkan sebagai bunga besar yang dikelilingi bunga kecil. Motif ini digunakan pada pakaian adat dan kegiatan keagamaan. 
  4. Gringsing Isi
    Digambarkan sebagai motif penuh tanpa celah, motif ini digunakan hanya pada sarana upacara.
  5. Lubeng
    Digambarkan sebagai kalajengking yang digunakan pada pakaian adat dan kegiatan keagamaan.
  6. Sanan Empeg
    Digambarkan sebagai tiga kotak berwarna merah dan hitam yang digunakan pada pelengkap sesajen dalam kegiatan keagamaan dan adat masyarakat Desa tenganan.
  7. Wayang
    Motif wayang terbagi menjadi Gringsing Wayang kebo (wayang lelaki) dan Gringsing wayang Putri (wayang perempuan). Motif ini biasa digunakan pada selendang.
Penggunaan kain tenun Gringsing pada budaya seni tari Bali. (Sumber: Shutterstock)

Sejak tahun 2018, Desa Tenganan berhasil mendapatkan hak eksklusif atas Tenun Gringsing berupa paten indikasi geografis dari Kementrian Hukum dan HAM, dengan 27 motif yang sudah didaftarkan sejauh ini. Kini, Tenun Gringsing semakin dikenal keberadaannya dan permintaan akan kain ini pun meningkat. Para wisatawan pun sekarang dapat menyaksikan langsung proses penenunan kain Gringsing. Namun, semakin langkanya regenerasi penenun mempersulit pengembangan Tenun Gringsing itu sendiri, padahal hampir di setiap rumah tangga pada Desa Tenganan memiliki perempuan yang dapat menenun kain tersebut. Untuk kedepannya, diperlukan usaha kolaboratif dari pemerintah daerah dengan komunitas pengrajin Tenun Gringsing untuk meningkatkan eksistensi sarana pelestarian Tenun Gringsing serta edukasi terhadap generasi muda agar minat terhadap karir di bidang tenun tradisional tetap terjaga.

Penulis: Nabila Nida Rafida | Editor: Mega Saffira | Sumber: ISI Denpasar | Fitinline | Griya Tenun | Detik 1 2| Nusa Bali | Sri Utami, ISI Yogyakarta

2 comments

  1. Di Kota Jepara juga memiliki kain tenun khas yakni kain tenun dari daerah Troso yang juga terkenal se antero jagad. Jika sedang berkunjung ke Jawa Tengah silahkan mampir kak untuk membawa oleh-oleh kain tenun yang bagus bagus.

    Like

Leave a reply to Hinggi: Wastra Sarat Makna dari Sumba Timur – The Textile Map – Blog Cancel reply