Menilik Teknik Celup Ikat dan Sejarahnya di Berbagai Negara

Berbagai teknik celup ikat dari Jepang, Shibori, yang juga melibatkan teknik cetak bentuk, lipit, jahitan, dan juga gulungan menggunakan pipa atau tongkat. (Foto: Honestlywtf.com)

Teknik olah latar pada tekstil yang disebut dengan celup ikat, atau lebih populer dengan istilah bahasa Inggrisnya yaitu tie-dye, merujuk pada teknik pewarnaan pakaian yang dilipat, diputar, dan diikat menggunakan tali atau karet sebelum dicelupkan pada cairan pewarna.

Pada tahun 1960-1970, penggunaan tie-dye memberi dampak yang signifikan terhadap kultur sosial di Amerika Serikat. Para remaja mengenakan tie-dye sebagai bentuk pemberontakan terhadap kekerasan dan kapitalisme yang berkembang di tahun 1950-an. Penolakan terhadap norma sosial yang terlalu konservatif dilakukan dengan menunjukkan penampilan yang lebih mengarah pada kesederhanaan dan perdamaian. Golongan remaja ini kala itu dikenal sebagai kaum Hippies. Penggunaan tie-dye pun sempat dipopulerkan di era yang sama dalam festival musik Woodstock. Sejak itu, tren tie-dye kerap timbul tenggelam dalam dunia mode, dan tidak sedikit yang mengira bahwa tie-dye lahir dari pop culture atau budaya yang lahir di masa kini. Padahal, teknik tie-dye sesungguhnya sudah diterapkan sejak belasan abad lalu dan dapat ditemukan di berbagai negara termasuk Indonesia.

Kain Wari – Peru

Ditemukan pada 800 S.M., kain Wari merupakan tekstil tradisional asal Peru yang dipercaya sebagai tekstil dengan teknik tie-dye tertua di dunia. Kain ini biasa dikenakan oleh penguasa tinggi di daerah Wari dan juga diberikan sebagai hadiah diplomatik antar daerah. Terkenal dengan menggunakan warna-warna seperti merah tanah, hijau lumut, dan biru gelap, kain Wari menggabungkan teknik patchwork dengan tie-dye. Yaitu, berbeda dengan tekstil tie-dye lain yang biasanya menggunakan sebuah kain polos sebagai dasarnya, kain Wari dibuat dengan cara memotong kain menjadi potongan-potongan kecil, mengikat dan mencelupnya ke dalam pewarna, kemudian menyambungkannya kembali dengan cara dijahit.

Kain Bai – China

Mendapat nama dari daerah asalnya, kain ini pertama ditemukan oleh masyarakat Zhoucheng di Dali Bai Autonomous Prefecture, Yunnan pada abad ke-3. Biasanya, kain ini menggunakan kain katun putih atau campuran katun dan rami sebagai material dasarnya dan tanaman indigo sebagai pewarna utamanya. Daun woad akan dikumpulkan dan difermentasi dalam sebuah lubang hingga mengeluarkan warna biru gelap keunguan. Lalu, kain putih akan diikat dan dijahit menjadi berbagai pola yang menggambarkan alam sebelum kemudian dicelup pada pewarna tersebut. Pola yang dihasilkan, seperti lebah, kupu-kupu, bunga, ikan, dan serangga, dikatakan akan membawa keberuntungan bagi penggunanya.

Bandhani – India

Kiri-kanan: proses mengikat kain Bandhani; salah satu contoh hasil akhir kain Bandhani.
(Foto: Australian National Maritime Museum, Ciceroni)

Kain Bandhani dihasilkan dengan memetik kain dengan menggunakan kuku lalu diikat kecil-kecil hingga membentuk pola desain yang figuratif. Bandhani dipercaya telah berada sejak 4.000 S.M. namun, rekam jejak fisik tertua yang dapat dilihat ada pada sebuah lukisan Buddha di dinding Gua Ajanta pada abad ke-6. Berbeda dengan tie-dye modern yang umumnya memiliki pola spiral karena melakukan pengikatan di bagian tengah pakaian, pola pada kain Badhani terlihat lebih menyeluruh dan terstruktur. Kain Bandhani diproduksi di berbagai daerah di India, namun hingga saat ini Gujarat dan Rajasthan dikenal sebagai daerah yang memproduksi kain Bandhani dengan kualitas terbaik. Bandhana, kain Bandhani yang memiliki ukuran kecil seperti sapu tangan asal Bengal pun sempat populer di seluruh dunia karena banyak digunakan oleh pelaut dan nelayan di sekitar tahun 1700-an.

Shibori – Jepang

Sejak abad ke-8, masyarakat Jepang sudah mempraktikkan tie-dye ke dalam proses pewarnaan tekstil mereka. Meski memiliki konsep yang sama dengan tie-dye biasa, kain Shibori cenderung jauh lebih rumit dan mendetail karena para pengrajin Shibori menggunakan benang yang lebih halus untuk mengikat beberapa titik secara berulang. Perbedaan lain yang nampak adalah pemilihan spektrum warna Shibori yang cenderung menggunakan satu warna saja.

Shibori sendiri terdiri dari beberapa jenis, antara lain Kanoko (celup ikat biasa), Miura (celup ikat dengan jahitan melingkar), Nui (celup ikat dengan jahitan mengikuti motif yang diinginkan), Arashi (celup ikat dengan kain dibungkuskan kepada tongkat), Kumo (celup ikat dengan lipatan), dan Itajime (celup ikat dengan cetakan bentuk), yang dibedakan dari teknik pembuatan dan motif yang dihasilkan.

Ikat dan Jumputan – Indonesia

Tidak kalah dari negara lain, Indonesia juga memiliki teknik tie-dye nya sendiri yang sering disebut dengan teknik ikat dan jumputan. Meski memiliki kesamaan dalam konsepnya, teknik pengerjaan dari ikat, jumputan, dan tie-dye sangat berbeda. Teknik ikat masuk ke Indonesia di akhir abad ke-17 dan biasa ditemukan pada jenis kain yang ditenun. Pengikatan dilakukan sebelum proses penenunan pada setiap helai benang sehingga membentuk pola yang diinginkan.

Sedangkan, pengikatan pada teknik jumputan telah dilakukan sejak abad ke-10 silam dengan menjahit pada pola-pola kecil yang sudah di gambar pada kain hingga mengerut. Ketika sudah dicelupkan ke dalam pewarna, benang jahitan akan dilepas untuk menunjukkan pola yang diinginkan. Karena menggabungkan teknik jahit, pola yang dihasilkan dari teknik ini cenderung lebih bervariatif dan fleksibel.

Penggunaan teknik celup ikat dan jumputan di Indonesia memiliki nama yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan detail proses pembuatan dan daerah asalnya. Contohnya, kain Plangi atau Cinde dari Sumatera Selatan, Sasirangan dari Kalimantan Selatan, juga Tritik dari Jawa Tengah.

Adire – Nigeria

Kiri-kanan: Kain Adire Oniko dan Adire Alabare dari barat Afrika. (Foto: Victoria and Albert Museum)

Kain yang diproduksi oleh para pengrajin Yoruba di Nigeria ini ditemukan pada tahun 1800, namun istilah “adire” baru dikenalkan pada abad ke-20. Kain dengan teknik Adire ini dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis namun hanya dua diantaranya yang menerapkan konsep tie-dye; Adire Oniko yang dilakukan dengan mengikat kain menggunakan tali rafia, serta Adire Alabare yang menggabungkan teknik jahit untuk menghasilkan pola.

Kembalinya Tie-Dye di Era Pandemi

Kiri-kanan: Berluti Men’s S/S 2020, Prada S/S 2019, Tom Ford F/W 2020. (Foto: Vogue)

Dalam kurang lebih dua tahun ke belakang, penggunaan tie dye sempat kembali digunakan dalam koleksi beberapa desainer seperti kemeja tie-dye berwarna hijau toska yang dikenakan Gigi Hadid pada peragaan Berluti Men’s Spring/Summer 2020 lalu atau koleksi Tom Ford Fall/Winter 2020 misalnya dengan atasan sejenis kaftan yang di-tie-dye ke dalam warna oranye tua. Namun, dari berbagai koleksi yang mengkolaborasikan teknik ini, koleksi Spring/Summer 2019 oleh Prada mungkin menjadi salah satu yang paling menonjol dimana pada saat itu mereka menerapkan teknik tie-dye, tidak hanya pada pakaian, tapi juga pada tas.

Memasuki tahun 2020, popularitas tie-dye semakin meluas melalui aplikasinya pada produk loungewear, sejenis piyama atau pakaian tidur, yang kini banyak digunakan masyarakat sebagai pakaian sehari-hari sejak masa pandemi yang mengharuskan mereka untuk lebih banyak beraktivitas di rumah. Untuk brand lokal sendiri, terdapat SUKU dan Nayaka yang disebut sebagai dua dari pelopor tren tie-dye masa kini di Indonesia. SUKU, label binaan Christine Lafian yang kini berbasis di Melbourne, kerap menghadirkan motif tie-dye berbentuk sirkuler yang diaplikasikan pada pakaian tidur dan bedding. Sedangkan, Nayaka beberapa kali mengeluarkan koleksi dengan motif jumputan pada desain loungewear mereka. Koleksi-koleksi ini pun pada akhirnya menginspirasi banyak pengusaha mode baik dari label besar maupun industri rumahan untuk mengadopsi desain tersebut pada produknya.

Penggunaan teknik tie-dye pun sangat akrab dengan dunia upcycling atau proses memperbaharui pakaian lama. Selain mudah dilakukan dan tidak membutuhkan banyak alat dan bahan, pola yang dihasilkan dari tie-dye menghasilkan kesan baru pada pakaian-pakain lama yang warnanya yang sudah memudar atau sekedar terlihat membosankan. Simak video di atas untuk mengenal cara termudah melakukan upcycling pada pakaianmu dengan teknik celup ikat.

Penulis: Nabila Nida Rafida | Editor: Mega Saffira | Sumber: Victoria & Albert Museum | CNN Indonesia | Heroine | Japan Objects | Fimela | The Skull and Sword | CITS | Utsavpedia | Britannica | Australian National Maritime Museum | Ciceroni | Craft Atlas | Museum of Fine Arts Boston

One comment

Leave a reply to Dhaka Muslin: Sejarah dan Revitalisasi Tekstil Kuno Bangladesh yang Hilang – The Textile Map – Blog Cancel reply